Oleh :
Agus Pakpahan
Berabad-abad matahari membakar punggung mu
Kau bungkukan tubuhmu mencangkul tanah, menebar benih menanam biji
Peluh mengalir di seluruh tubuhmu dan bertanya:
“Dimana tempat anak-cucuku akan berlabuh?
Dimana hari tua ku dan anak-istriku akan berakhir?”
Ia tak bisa menjawabnya.
Hari demi hari dihitungnya,
Musim demi musim datang-pergi silih berganti
Angin timur, angin barat, angin utara, angin selatan membawa derajat
Petani terus mengabdi tiada henti, dan darahnya bertanya:
“Dimana hari-hari kemarin?
Apakah hari-hari mendatang masih akan sama dengan hari-hari kemarin?”,
Ia tak mampu menjawabnya.
Di sore hari ia termenung, setelah sembahyang memuja Sang Pencipta siang dan malam
Gemercik air yang keluar dari pancuran di belakang rumahnya terus menghibur sambil berkata:
“Janganlah kamu melamun menatap kosong,
Bacalah dan bacalah, berpikirlah dan berpikirlah, galilah dan galilah,
Dari setiap butir benih yang kau tanam, dari setiap rumpun padi yang kau pelihara, dari setiap petak sawah yang kau airi, dari setiap ton padi yang kau panen: Apa yang kau dapat?
Ia tak bisa menjawabnya.
Sang subuh datang menjelang, matahari menerangi sawah-ladang
Dapur-dapur petani sudah lama tidak mengepulkan asap
Abu dapur yang dulu biasa dipakai memupuk pun sudah tak ada
Apalagi pupuk-pupuk kandang yang diangkut dari hasil ternaknya sendiri
Semua sudah diganti oleh hasil teknologi dari tanah sebrang lautan
Yang membuat tanah-tanah makin miskin tetapi membuat mereka tambah kaya
Padi hibrida pun kita datangkan dari negeri utara
Dan Sang Air pun bertanya:
“Aku tak mengerti, mengapa Tanah Jawa yang dulu bergelar Jawadwipa kehilangan sukma? Mengapa dulu kita ekspor beras ke negeri utara, tetapi sekarang sebaliknya? Tak malukah kita oleh negeri tetangga. Tak malukah kita terhadap anak-cucu kita?”
Ia tak bisa menjawabnya.
Hari berganti hari,
Padi diganti palawija dan palawija berganti padi, air mengalir—air berhenti
Perubahan kehidupan petani tak juga terjadi—air bahkan makin mengering dan tanah- tanah merekah kering kerontang. Ini sudah lama berselang.
Sang Padi dan Palawija pun akhirnya bertanya:
“Mengapa kau tak melihat aku dengan akal-budimu, wahai petani?”,
“Dekatkanlah dirimu dengan Tuhanmu, beranilah menyebarkan kebenaran, bangunlah persatuan dan kesatuan dengan dasar persaudaraan, ikhlaskanlah hatimu untuk saling bahu membahu, tajamkanlah perasaanmu untuk bisa mendengarkan bisikan alam, sadarkanlah bahwa dirimu adalah gurumu dan gurumu adalah dirimu, kuasailah dunia dengan ilmu”.
Sekarang ia bisa menjawabnya:
“Aku mengerti sekarang ini
Wahai seperti engkau, sang padi
Kau beranak pinak menjadi rumpun-rumpun padi penuh arti
Kau bersatu menyatu menjadi sapu padi
Kau memiliki ilmu padi
Memberi kemakmuran kepada kami dan saudara-saudara kami
Maka kami membentuk Asosiasi Petani Padi Palawija Indonesia
Sebagai wadah perjuangan petani di seluruh pangkuan Ibu Pertiwi
Untuk membangun Negeri”.
Kita melihat awan hitam bergerak menjauh meninggalkan Indonesia.
Kita merasakan desiran angin membawa berita suka cita
Berkah akan menebar-menyebar ke seluruh Bumi Nusantara
Sungai-sungai bergemuruh datang menyambut
Gunung-gunung berseru: “ Selamat, bangunlah negrimu wahai asosiasi petani!”
Gelombang laut pun bergelora, berteriak:”Singsingkan lengan bajumu, aku akan membantu!”
Seluruh isi bumi-alam bersorak:”Terpujilah Petani, Indonesia Raya Tetap Jaya, Merdeka!”
Kita telah menjawabnya. Kun kata Allah, kun fayakun.
Surabaya, 2 September 2007: 23.45 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar