SUARA PEMBARUAN DAILY
Globalisasi Pertanian dan Kesejahteraan Petani
Agus Pakpahan
Menurut Lowdermilk, usia pertanian sudah lebih dari 7.000 tahun. Pertanian (agriculture) didefinisikan sebagai usaha budi daya tanaman atau ternak dalam bidang lahan yang tetap. Karena itu, kuncinya produktivitas yang bersumber dari inovasi teknologi yang diterapkan pada bidang lahan tetap tersebut. Apabila teknologi yang diterapkan merusak maka pertanian bersifat merusak sistem ekologi alam. Gurun pasir atau lahan-lahan kritis, sekarang, merupakan contoh peninggalan sistem pertanian yang merusak alam.
Perdagangan komoditas pertanian merupakan motor dari globalisasi hasil-hasil pertanian. Perdagangan ini menyertakan mobilitas penduduk yang jumlahnya cukup besar untuk mengubah komposisi demografis penduduk di suatu wilayah. Di Indonesia, kita menyaksikan pertanian padi yang konon bersumber dari Tiongkok dengan usia lebih dari 3.500 tahun.
Kemudian kita mengenal jagung, tembakau, kakao, kina, dan karet, yang berasal dari benua Amerika. Sedangkan kelapa sawit dan kopi berasal dari Afrika. Tanaman-tanaman tersebut hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya para penjelajah atau saudagar dunia, yang juga mencari berbagai macam barang dari Nusantara, khususnya rempah-rempah.
Para penjelajah Barat sebenarnya datang belakangan, yaitu setelah mereka bisa melintasi Tanjung Harapan. Bangsa Portugis, sebagai pelopor penjelajahan ke Asia melalui Timur, datang dan menaklukkan Malaka pada 1511. Kemudian, secara bergelombang kita menyaksikan hadirnya bangsa-bangsa Eropa yang lain hampir seratus tahun kemudian, yaitu Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Kita sering lupa bahwa betapa besar nilai rempah-rempah pada zamannya, sehingga, misalnya, Banda Neira dipertukarkan dari Inggris dengan Manhattan (New York) yang dimiliki Belanda.
Latar belakang sejarah di atas penulis sampaikan sebagai bahan pemikiran bahwa pertanian yang kita kerjakan, sekarang, bukanlah hal yang terjadi tiba-tiba tanpa melibatkan pergolakan ekonomi, politik dan militer secara global.
Bahkan, dengan mempelajari pertanian kita akan mendapatkan bahan pembelajaran bagaimana sebaiknya kita mengembangkan politik nasional dengan memanfaatkan pertanian sebagai instrumennya.
Politik perkebunan pada dasarnya dirancang oleh kekuatan global pada masa awalnya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah atau bahan baku di negara asalnya. Kita hanyalah sebagai alatnya. Perlu kita sadari bahwa kalau kita katakan perkebunan berorientasi ekspor, itu bukanlah hasil desain kita. Itu adalah hasil desain struktur ekonomi global yang begitu kuat, sehingga kita pun sering tidak menyadarinya.
Salah satu indikator ketidakseimbangan pasar dalam menentukan pembagian margin dapat dilihat, antara lain, pada kopi, yaitu hanya sekitar 10 persen dari retail added value margin yang diterima oleh negara-negara pengekspor. Hal serupa juga dapat diperkirakan terjadi terhadap komoditas perkebunan lainnya (kecuali gula) mengingat status kita masih sebagai net importir.
Implikasi
Apa implikasinya terhadap perekonomian nasional kita? Kita perlu menyadari bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi global, khususnya yang dimainkan oleh perusahaan multinasional, merupakan instrumen global yang sangat besar perannya dalam menentukan mati-hidupnya pertanian kita.
Dalam bidang pangan, khususnya jagung, gandum, dan kedelai, sistem produksi dan pasarnya sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang mengakar di Eropa dan Amerika. Sistem produksi perkebunan, khususnya karet, walaupun industrinya dikuasai oleh perusahaan multinasional, seperti Michelin, Bridgestone, dan Goodyear, hampir dapat dipastikan sulit dikembangkan di negara maju mengingat satu kegiatan produksi primernya, yaitu menyadap getah karet, belum bisa dilakukan secara mekanisasi. Oleh karena itu, posisi produksinya masih bisa kita kembangkan. Namun, untuk komoditas lainnya, termasuk kelapa sawit, kita harus berhati-hati.
Posisi petani dengan jumlahnya yang besar perlu menjadi perhatian utama kita. Sistem politik-ekonomi global masa sekarang tampaknya mirip dengan apa yang pernah terjadi pada 1930-an, yaitu betapa miskin para petani di negara-negara berkembang, sekarang ini, mirip dengan posisi petani di negara-negara jajahan pada masa tersebut.
Apabila pada 1930-an lahir politik etis di Belanda dengan tema edukasi, irigasi, dan transmigrasi, maka politik etis global pada abad ke-21 ini juga harus bisa dilahirkan kembali. Tanpa adanya politik etis global yang baru, yang bisa memberikan ruang kehidupan baru bagi negara-negara berkembang yang notabene bekas jajahan yang memerdekakan diri kurang-lebih 60 tahun yang lalu, struktur politik-ekonomi dunia sangatlah terbatas memberikan ruang-gerak untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperbaiki nasib para petani di negara-negara berkembang.
Model Revolusi Hijau ternyata belum cukup ampuh untuk mengubah nasib petani di negara-negara berkembang. Bahkan, mungkin hal sebaliknya yang terjadi, yaitu model ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan raksasa di negara-negara maju. Model bantuan luar negeri melalui berbagai jenis utang luar negeri, memang memberikan manfaat, tetapi lebih banyak manfaatnya mengalir ke luar dan para petani masih tetap miskin.
Kita perlu menciptakan model yang lebih baik, yang didasari oleh landasan etika politik-ekonomi yang lebih beradab. Hanya dengan ini perubahan dunia ke arah yang lebih baik bagi para petani di negara-negara berkembang akan terwujud.
Penulis adalah pengamat masalah ekonomi pertanian.
Last modified: 11/11/08
sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2008/11/11/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar