Agus Pakpahan
Kita mewarisi cita-cita luhur. Cita-cita luhur tersebut adalah kemerdekaan. Karena itu kita mewarisi faham bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan segala bentuk penjajahan haruslah dihapuskan. Dengan berkah Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, perjuangan para leluhur kita berbuah sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu bagian dari kemerdekaan yang sesuai dengan tema kita hari ini adalah kemerdekaan dari kebodohan, ketertingqalan, kemiskinan dan ketertindasan. Peran guru dan pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, kita memperoleh pembelajaran bahwa pada era perjuangan politik untuk mewujudkan NIKRI serta pada masa perjuangan fisik untuk mendirikan NKRI yang merdeka dan berdaulat, peran dari para tokoh guru dalam memimpin perjuangan sangat menonjol. Kita mengenal, antara Iain bahwa Jenderal Soedirman dan Jenderal A.H. Nasoetion sebelum terjun menjadi tentara adalah seorang guru. Dunia pendidikan, baik pendidikan sekolah umum, pendidikan keagamaan atau pendidikan "lapangan" sekalipun telah melahirkan para tokoh pejuang yang telah menjadi guru bangsa yang memerdekakan Indonesia seperti HOS. Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Natsir, Sjahrir, H. Agus Salim. Tidak berlebihan apabila kita mengatakan bahwa semua guru akan menyandang gelar Pahlawan, walaupun mungkin sering disebutkan sebagai pahlawan yang tidak dikenal.
Kita fokuskan pembahasan kali ini pada aspek kecerdasan bangsa sebagai prasyarat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat, makmur, sejahtera, sentausa, bermartabat, maju dan menjadi bangsa yang terkemuka di muka bumi ini. Kecerdasan bangsa itulah yang menjadi kunci dalam kemajuan Ipoleksosbudhankamnas (ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional).
Untuk memperluas wawasan kita mengenai hal tersebut, saya akan memulai materi ceramah ini dengan mengemukakan sebuah hasil penelitian empiris yang menunjukkan bahwa memang benar penentu utama kemajuan itu adalah keberhasilan dalam dunia pendidikan.
Heiner Rindermann dalam tulisannya "Relevance of Education and Intelligence at the National Level for Economic Welfare of People", yang diterbitkan dalam jurnal Intelligence 36 (2008) halaman 127-742, menunjukkan bahwa kemampuan kognitif suatu masyarakat sebagaimana dipedihatkan oleh kemampuan berpikir, penguasaan pengetahuan dan kecerdasan dalam menggunakan pengetahuannya merupakan faktor penentu dalam keberhasilan dalam mengarungi
kehidupannya.
Rindermann mencapai kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kemampuan kognitif yang cukup lebar antara-negra. Kelompok negra dengan tingkat skor kemampuan kognitif tertinggi adalah Negara-negan di Asia Timur, yaitu: Taiwan (1), Singapura (2), Cina (3), Korea Selatan (4), Hongkong (5), dan Jepang (6). Kelompok ke dua adalah Negara-negara di Barat belahan Utara dan Eropa Tengah seperti: Finlandia (7), Belanda (9),Kanada (10), Inggris (11), Islandia (12), Swiss (13), Austria (15), Selandia Baru (16), Swedia (17), Australia (18), Belgia (20), Norwegia (21), Amerika Serikat (23), Perancis (24), Jerman (25) dan Denmark (26). Kelompok berikutnya adalah kelompok Negara-negan di lingkungan Eropa Selatan dan Timur. Negara-negara lainnya, terutama Negara-negara Afrika berada pada posisi skor yang rendah. (Angka dalam kurung menuniukkan posisi ranking).
Hubungan (korelasi) kemampuan kognitif yang paling tinggi ternyata berlaku dengan atribut pendidikan. Hal ini sejalan dengan teori pada umumnya bahwa pendidikan merupakan faktor strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Korelasi antara kemampuan kognitif dengan tingkat pendidikan remaja dan pemuda adalah 0.78. Artinya, kelompok remaja dan pemuda inilah kelompok penduduk yang sangat strategis untuk ditingkatkan tingkat kecerdasannya. Kemampuan kognitif ini berkorelasi tinggi juga dengan jumlah serta kualitas sekolah dengan nilai koefisien korelasi 0.74. Korelasi antara kemampuan kognitif dengan kualitas birokrasi 0.64, Produk Domestik Bruto (PDB) 0.63, peraturan perundangan 0.64, rendahnya korupsi 0.60, jumlah buku 0.59, demokrasi 0.56, pertumbuhan ekonomi 0.44, kebebasan ekonomi 0.52.
Sedangkan variable seperti laju pertumbuhan jumlah anak-anak memberikan gambaran hubungan negatif dengan kemampuan kognitif dengan nilai koefisien korelasi tertinggi -0.73. Hubungan negatif lainnya dengan kemampuan kognitif adalah ketimpangan pendapatan -0.51, laiu infeksi HIV -0.48, rasio pengeluaran pemerintah -0.47, dan peperangan -0.22. Hal ini memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya program keluarga berencana, pemerataan kesejahteraan, pengelolaan pengeluaran pemerintah dan menjaga suasana Negara dalam situasi damai.
Hasil Rindermann selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan merupakan faktor penyebab kunci kemajuan budaya, politik dan kemajuan suatu bangsa. Secara khusus ukuran sekolah formal berkaitan erat dengan kemampuan kognitif. Perbedaan antar bangsa dalam kemampuan kognitif berhubungan dengan perbedaan dalam tingkat pendidikan rakyat pada umumnya. Rindermann juga menunjukkan bahwa pendidikan lebih banyak bergantung pada faktor budaya dari pada faktor ekonomi. Kompleksitas ekonomi, sosial dan budaya tidak mungkin terwujud tanpa tingginya tingkat kemampuan kognitif. Sebaliknya juga tingkat kecerdasan yang tinggi tidak mungkin terwujud tanpa adanya kompleksitas dalam system ekonomi, sosial dan budaya dari suatu bangsa.
Hasil penelitian ini iuga menunjukkan bahwa selama 30 tahun terakhir abad, ke-20, pendidikan dan kemampuan kognitif lebih penting peranannya dalam peningkatan kesejahteraan daripada pengaruh kesejahteraan dalam bidang ekonomi terhadap pendidikan. Hal ini sejalan dengan hasil estimasi menggunakan model Salkever yang menunjukkan bahwa meningkatnya 1% faktor IQ, meningkatkan pendapatan bagi kelompok laki-laki 2.1% dan 3.6% bagi kelompok perempuan. Jadi, betapa pentingnya pendidikan ini apabila kita bisa meningkatkan kecerdasan dari anak didik kita dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Apalagi kalau kita bisa meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sekaligus bersama peningkatan kecerdasan intelektual.
Sandberg dan Bostrom (2006) menguraikan bahwa kemampuan kognitif dapat dikembangkan melalui berbagai upaya termasuk di dalamnya: bioteknologi farmasi dan bioteknologi lainnya, teknologi kognitif, pelatihan mental, teknologi informasi, peningkatan kemampuan kolektif, nanoteknologi, dan kombinasi dari upaya-upaya tersebut.
Penggunaan obat-obatan hanya memberikan pengaruh perbaikan dalam kemampuan kognitif sekitar 10-20 %. Metode ini selain sulit juga rumit.
Pendidikan adalah "teknologi" untuk meningkatkan kemampuan kognitif. Winship dan Koreman (1997) (Sandberg dan Bostrom, 2006) menunjukkan bahwa pengujian kemampuan kognitif seperti test IQ dan pengujian lainnya, meningkatkan 2.7 poin IQ per tahun lama sekolah. walaupun sementara pendidikan ini lebih berperan sebagai teknologi peningkatan status sosial khususnya di negara-negara berkembang, pendidikan juga memberikan potensi pengaruh terhadap peningkatan kemampuan kognitif.
Sadberg dan Bostrom (2006) iuga menyampaikan hasil penelitian Neisser (1997) yang menunjukkan pentingnya pelatihan mental dalam meningkatkan kemampuan kognitif. Meningkatnya kebutuhan terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak dan visuospatial cognition dari masyarakat modern dan di sekolah-sekolah, ternyata meningkatkan raw intelligence test scores sekitar 2.5 poin IQ, walaupun peningkatan nutrisi dan kesehatan juga memberikan peranan.
Peningkatan kemampuan kolektif jelas sangat penting dan ini ditentukan oleh distribusi kemampuan kognitif dari individu-individu dalam suatu masyarakat. Hal ini berkaitan dengan teknologi informasi yang menjadi sarana untuk membangun suatu sistem yang dapat mengembangkan saling ketersambungan atau pengembangan "tali batin" antara individu-individu secara terbuka dan dinamis.
Uraian selanjutnya akan menekankan bahwa system pendidikan kita kedepan akan sangat dipengaruhi oleh apakah kita bisa membangun system kolektif ini.
Marilah kita sekarang mencoba melihat perubahan-perubahan besar yang terjadi di sekitar kita dan di dunia pada umumnya. Kita tidak bisa mengelak bahwa kemajuan dalam teknologi informasi sudah sedemikian majunya. Kita berada dalam zaman digital (Prensky, 2001) yang menggambarkan generasi yang sudah masuk kedalam teknologi digital: musik, video, DVD, internet, telepon genggam, BlackBerry, MySpace, Facebook, YouTube dst.
Karena itu, dalam zaman sekarang menerapkan model pendidikan sebagaimana yang dilaksanakan pada zaman dulu seperti paradigma pembelajaran dengan sistem yang teratur (ordered), transmisi pengetahuan secara sistematik dan bertahap, guru memegang peran kunci dan susunan meja yang tetap dihadapan meja guru dan papan tulis yang menggantung di depan kelas, proses pembelajaran yang dicirikan oleh penilaian hasil individu, mungkin sudah tidak dapat diandalkan lagi secara penuh. Sebaliknya, kita memerlukan adanya revolusi yang menggeser tradisi yang sudah berurat-berakar selama ini ke metode zaman sekarang, yang sesuai dengan perubahan yang sifatnya revolusioner itu.
Kata kunci utama adalah menggeser model teaching ke model learning. Yang dimaksud dengan learning atau pembelajaran ini adalah menghasilkan dan menggunakan knowledge (pengetahuan) sebagai faktor perubahan perilaku secara permanen. Model ini akan sangat tergantung pada interaksi antar-individu di dalam kelas dan dengan individu di luar kelas secara kontiyu, terbuka dan komunikatif, sampai level pengetahuan itu bergerak dari pemahaman dan berakhir pada implementasi cara menyelesaikan permasalahan, apakah itu menjawab pertanyaan disiplin keilmuan, subyek yang dijadikan bahan pembahasan atau masalah riil yang harus diselesaikan.
Apabila kita sederhanakan makna kecerdasan itu kedalam pemahaman yang minimal yaitu diukur oleh IQ, maka sebagaimana diuraikan di atas, bahwa faktor terpenting adalah pendidikan dan lingkungan (pendidikan memiliki koefisien korelasi yang tertinggi dengan kemampuan kognitif dan tantangan yang datang dari lingkungan yang semakin kompleks membangun proses evolusi masyarakat yang turut meningkatkan IQ penduduk). Mengingat faktor IQ ini juga merupakan hal yang sangat strategis dalam peningkatan pendapatan, maka pembangunan ekonomi yang mampu memberikan kesempatan kerja bagi kaum terdidik sangatlah strategis pula dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Persoalan yang kita hadapi sekarang kelihatannya sangatlah kompleks mengingat tingkat pengangguran tertinggi berada pada kelompok masyarakat yang memperoleh tingkat pendidikan yang tinggi pula. Mengapa hal ini terjadi? Apakah tingkat upah yang diharapkan oleh tenaga kerja pengangguran terdidik itu berada di bawah tingkat upah minimal (reservation wage) yang diharapkannya ataukah memang tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian/kemampuan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita? Atau, apakah dunia pendidikan kita kurang memberikan hasil yang mampu meningkatkan IQ tetapi lebih banyak pada menghasilkan peningkatan penerima sertifikat/ijazah yang lebih berperan sebagai peningkatan status sosial saja dibandingkan dengan peningkatan kemampuan kognirif (IQ) dari
mereka?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita memerlukan penelitian yang mendalam sehingga kita akan mengetahui state of the arts dari kemampuan kognitif bangsa kita dan bagaimana cara mengatasi persoalan-persoalannya. Kelihatannya kita masih mencari cara yang tepat untuk dapat mengukur hubungan pendidikan dengan kecerdasan dan dampak kecerdasan terhadap peningkatan tingkat kehidupan bangsa kita ini. Pro-kontra ujian Nasional, Kinerja ujian Nasional, kasus jual-beli ljazah dan lain-lain merupakan bagian integral dari persoalan pencerdasan kehidupan bangsa ke depan. Jumlah migrant tenaga kerja yang besar ke luar negeri, khususnya tenga kasar seperti pembantu rumah tangga dan migrant tenaga kasar perkebunan ke Malaysia, merupakan sisi lain kelemahan sektor ekonomi kita di tanah air. Inilah tantangan yang harus kita hadapi dan saya percaya bahwa apapun yang kita hadapi upaya peningkatan kemampuan kognitif (kecerdasan) mutlak untuk dijadikan fokus pembangunan kita saat ini.
Saya merasakan bahwa yang sekarang ini sangat lemah dalam masyarakat kita adalah lemahnya tekad dan upaya untuk meraih pendidikan yang berkualitas. Apalagi dibandingkan dengan kondisi zaman para pendiri republik ini, pada waktu saya masih di sekolah dasar saja saya merasakan dengan fasilitas pendidikan yang minimal, misal masih menggunakan sabak, bukan buku tulis, tidak ada seragam sekolah, tidak ada lampu listrik di rumah, harus berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang relatif jauh, bahkan untuk SMA saja teman-teman sudah harus indekos, semangat untuk mencari ilmu cukup besar. Pada saat itu, saya tidak pernah menyaksikan adanya tawuran antar-sekolah, apalagi tawuran antar-perguruan tinggi. Saya tidak berani mengatakan bahwa pendidikan sekarang kualitasnya lebih rendah daripada kualitas pendidikan saya pada masa lalu, tetapi yang berani saya katakan adalah bahwa pada masa saya sekolah mungkin tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya lebih baik dari sekarang, khususnya rasa empathy dan semangat juangnya.
Dalam era digital sebagaimana dikemukakan di atas, mungkin sekarang ini kita harus memberikan prioritas pada upaya perbaikan system pendidikan yang lebih baik dalam hal pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya. Malcolm Gladwell (2008) memberikan gambaran akan hal ini secara gamblang, yaitu bahwa ukuran IQ yang diperlukan adalah cukup pada ukuran minimal untuk mampu memahami persoalan, selebihnya adalah latihan yang mengikuti dalil 10.000 Jam apabila seseorang ingin berhasil.
Artinya, system pendidikan harus berhasil melahirkan tradisi kerja keras untuk mendalami suatu bidang tertentu. Gladwell menulis:" To be a Nobel Prize winner, apparently, you have to be smart enough to get into a college at least as good as Notre Dame or the University of Illiois. That's all" Artinya, tidak ada korelasi yang kuat antar universitas yang sangat terkemuka seperti Harvard University atau MIT atau universitas kelas menengah dengan peralihan hadiah Nobel dalam bidang keilmuan. Hal ini ternyata dibuktikannya berlaku umum.
Jadi,apa yang menentukan keberhasilan pendidikan itu apabila kita menyimak apa yang disampaikan oleh Gladwell?
Yang diperlukan adalah adanya "ruang" dan "budaya" yang membangun kegairahan dan kesenangan para siswa bekerja keras. Pengalaman pribadi saya sewaktu menempuh program Ph.D di Michigan State University pada 1983-1988 (pada saat itu computer laptop masih jarang dan mahal), saya sangat menikmati belajar dan kerja keras karena lingkungannya menyediakan budaya dan prasarana yang menyenangkan dan menggairahkan untuk bekerja keras. Perpustakaan bukan hanya sangat lengkap koleksinya tetapi juga dibuka 24 jam, demikian pun Computer Centernya. Hal ini sangat berbeda dengan yang kita alami di tanah air. Tidak berarti hal ini tidak mungkin untuk kita kembangkan, asalkan saja budaya kerja keras dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas/nilai yang utama itu sudah menjadi budaya kita semua.
Sebagai tambahan informasi, kemenangan bangsa-bangsa Asia Timur sebagai mana dikemukakan di atas, juga hasil mereka dalam membangun budaya kerja keras. Di Jepang, kita akan sulit menemukan seseorang berjalan lambat, mereka selalu berjalan setengah berlari. Demikian pun di Korea Selatan dan Cina. perlu diingat bahwa malas, bekerja asal jadi, atau kebiasaan "membeli ljazah" untuk lulus misalnya, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan virus HIV atau flu burung. Perilaku tersebut menular! Ibaratnya kita mengatasi flu burung harus dengan cara yang menyeluruh, maka untuk mengatasi kemalasan dan perilaku sejenisnya juga harus dilaksanakan dengan cara yang menyeluruh juga. Di sinilah letak strategis dunia pendidikan dan para guru berada di dalamnya dalam upaya eradikasi penyakit budaya yang akan merusak masa depan kita dan keturunan kita semua.
Saya sekarang sampai pada uraian penutup dari makalah singkat ini. Saya ingin mengatakan bahwa potensi kecerdasan bangsa Indonesia ini sangat tinggi, tidak kalah dari potensi Negara lain yang ada di Asia. Para pendahulu kita telah memperlihatkan kemampuan itu. Dengan segala keterbatasan dan tekanan yang dideritanya, tetnyata para pendahulu kita, para guru bangsa kita, dan para pejuang kemerdekaan kita, telah menunjukkan bahwa mereka adalah individu-individu yang unggul. Jadi, kita ini juga keturunan bibit unggul. Mengapa kita masih tertinggal? Apakah system pendidikan kita yang salah ataukah kita ini memang ditakdirkan menjadi bangsa kuli saja? Saya pikir tidak. Yang perlu menjadi pertanyaan mendasar kita adalah apakah kita ini sudah memiliki sifat dan sikap yang kemudian menjadi keyakinan dan tekad yang kuat untuk mengejar ketertinggalan kita. Hal inilah mungkin yang membedakan kita dengan para pendahulu kita sehingga kita masih lemah untuk berjuang dalam mewujudkan amnah dari cita-cita kemerdekaan Indonesia, yang dasarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Para pendahulu kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Natsir, Syahrir, HOS Cokroaminoto, dan lebih banyak lagi para pejuang bangsa yang tidak dapat disebut satu persatu memiliki kecerdasan yang luar biasa sehingga mereka dapat keluar dari belenggu alam pikiran yang ditanamkan oleh para penjajah. Sekarang giliran kitalah yang diuji oleh zaman apakah kita bisa dan kuat keluar dari belenggu kekerdilan dan kelemahan pikiran perasaan dan keyakinan untuk keluar dari segala bentuk kesulitan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini dan saat-saat mendatang. Faktor pendidikan, dan di dalamnya adalah guru, memegang peranan yang sangat strategis dalam membangun Indonesia mendatang. Pengalaman-pengalaman di Negara Asia Timur sebagaimana diuraikan, pada awal tulisan ini perlu menjadi sumber semangat kita, demikian juga penga|aman negara-negara Barat dan bangsa-bangsa lainnya. Sangatlah mulia amal kita apabila kita semua bisa dan kuat mewujudkan kecerdasan bangsa kita sebagai mana telah diamanatkan dalam UUD 1945.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar