www.aguspakpahan.com

Kamis, 11 Februari 2010

KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN


KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN
TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI(1)

Agus Pakpahan


Yth. Rektor Universitas Padjadjaran,

Yth. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Yth. Para dosen, mahasiswa dan seluruh Civitas Academica Universitas Padjajaran,

Yth. Hadirin dan Hadirat sekalian yang kami muliakan


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita sekalian


Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji-syukur ke khadirat Illahi Rabbi, Tuhan Sekalian Alam, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk dapat berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Pada kesempatan yang pertama ini pula, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Universitas Padjadjaran, yang telah memberikan kehormatan bagi saya untuk dapat berbagi buah pikiran dan mengambil pelajaran pada kesempatan yang sangat berharga ini.


Tema yang diberikan kepada saya adalah ”Lembaga Regulator untuk Komoditas Pertanian Strategis pada Sistem Pangan Nasional (Food National System), dalam rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Cukup lama saya memikirkan apa kiranya yang tepat untuk dijadikan fokus uraian dalam pembicaraan kita sekarang ini. Mengapa kita berfokus pada lembaga regulator, misalnya, sebagai isu sentral dalam sistem pangan nasional telah menyita waktu saya cukup banyak sebelum saya memulai menulis apa yang akan saya sampaikan.


Dengan tetap akan menyampaikan pemikiran tentang Lembaga Regulator sebagaimana yang diminta Panitia, saya mohon diberikan kesempatan apabila akhirnya saya memilih fokus pembahasan pada hal yang lebih mendasar lagi, yang tentunya memiliki implikasi penting terhadap kehidupan rakyat, bangsa dan negara kita pada waktu mendatang, yaitu: ketahanan pangan adalah soal hidup atau mati.


Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati ini bukanlah istilah baru. Istilah yang saya ambil dari pidato Presiden Soekarno pada peletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 1952, lebih dari 55 tahun yang lalu. Pada era Presiden Soeharto, istilah swasembada pangan menggantikan istilah berdikari, dan dunia sepakat bahwa Indonesia pernah mencapai status swasembada beras pada tahun 1984, atau sekitar 20 tahun setelah tahun 1965. Isu pangan sebagai soal hidup atau mati, atau isu swasembada atau berdikari, saya pikir perlu kita angkat lagi ke percaturan ekonomi-politik globalisasi yang kita hadapi.


Saya angkat lagi isu swasembada atau berdikari ini sebagai isu sentral mengingat semua negara maju juga dicirikan oleh swasembada mereka di bidang pemenuhan pangan pokoknya. Bahkan sudah menjadi pengetahuan dan praktek umum bahwa gandum, beras atau gula serta jenis pangan pokok lainnya yang masuk ke pasar dunia adalah kelebihan produksi atau stok yang ada di setiap negara, sehingga pasarnya dinamakan residual market. Hal ini menunjukkan berlakunya hukum atau dalil yang kiranya menyatakan bahwa suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan pendudukunya secara baik.


Saya menyadari sepenuhnya bahwa saat ini saya berhadapan muka, bertemu pikiran, dan berikatan tali batin dengan kaum cerdik-cendekia, kaum terpelajar dan para pemimpin arif-bijaksana yang memusatkan seluruh perhatian dan kemampuan untuk menyelesaikan satu aspek kehidupan yang sudah ribuan tahun lamanya, yaitu persoalan ketahanan pangan. Hadirin sekalian tentu pula memiliki kekayaan akal-budi di bidang pangan atau di bidang lain yang berkaitan langsung dengan pangan, yang melebihi apa yang telah saya miliki. Oleh karena itu pula, saya berdiri di sini bukan sebagai pihak yang akan mengajari Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian, tetapi mudah-mudahan melalui kesempatan ini, ilmu dan kemampuan saya akan meningkat karena kebaikan hati dan kebijaksanaan Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian.

Paradoks Kemajuan dan Kemiskinan serta Kelaparan

Apabila 55 tahun yang lalu Presiden Soekarno melalui pidatonya yang membakar semangat para civitas academica dan semua yang hadir pada kesempatan peletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian IPB, maka apabila kita bertanya kembali pada saat ini, apakah kita sudah bisa menyelesaikan urusan pangan rakyat Indonesia secara baik, marilah kita jawab sendiri dalam hati kita masing-masing.


Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada, kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud menerima keadaan tersebut terus terjadi. Masih untung negeri kita tidak seperti apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi makhluk yang mulia.


Kelaparan adalah kemiskinan, kemiskinan itu mendekati kekufuran. Itulah yang sering disampaikan oleh para tokoh agama ketika menyampaikan wejangannya kepada kita semua. Tetapi mengapa setelah 7000 tahun pertanian berevolusi persoalan makanan ini belum juga bisa kita selesaikan? Mengapa kita membangun pabrik-pabrik, mall atau trade center serta prasarana dan sarana modern yang sering kali tidak ada hubungannya dengan ketahanan pangan nasional atau pertanian, tetapi sementara urusan pangan tidak menarik sukma dan jiwa kita untuk menyelesaikannya? Mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen sudah demikian maju dan memberikan kehidupan yang secara duniawi mulia untuk mereka yang berada di negara-negara maju, tetapi tidak untuk kita? Kita bisa membuat daftar yang panjang untuk menunjukkan bahwa kita ini memang belum menempatkan persoalan pangan rakyat sebagai persoalan hidup-matinya bangsa dan negara kita ini.


Inilah yang saya sebutkan sebagai paradoks: kita mendahulukan yang tidak penting secara hakiki. Tetapi sebaliknya, yang sifatnya hakiki kita tempatkan diurutan yang tidak penting. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda, akan saya uraikan agak sedikit panjang mengenai apa yang saya maksud dengan pernyataan terdahulu itu.


Dalam banyak hal kita ini sering berada dalam situasi kepentingan yang saling bertentangan. Bahkan dalam kondisi tertentu kita juga sering lupa bahwa sesuatu itu penting. Karena lupa, maka hal tersebut tidak termasuk dalam daftar yang harus kita putuskan atau harus kita kerjakan. Misalnya, bagi seseorang yang memang tingkat kehidupannya sudah tergolong kaya, maka pangan bukanlah hal penting dalam gugus pengambilan keputusannya. Hal ini diperlihatkan oleh pangsa pengeluaran pangannya yang sangat rendah dari seluruh jenis pengeluarannya. Fenomena ini dikenal dengan hukum Working yang menunjukkan adanya hubungan terbalik antara tingkat pendapatan dengan pengeluaran pangan. Sebaliknya untuk rumah tangga yang masih harus bergelut dengan isi perut, hampir seluruh pendapatannya. Bahkan banyak pula di antara anggota masyarakat kita yang harus berhutang atau tidak makan karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkannya.


Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas.


Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan perasaan khawatir. Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.

Pengalaman Negara Lain

Tidak ada maksud untuk mengagungkan negara lain apalagi mengecilkan kita semua. Mempelajari hasil kemajuan negara lain sangatlah penting untuk memetik buah dari akal-budi yang berkembang di sana dan menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. Bukankah Rasulullah bersabda ”belajarlah sampai ke negeri Cina”, artinya kita tidak boleh hidup seperti katak di bawah tempurung.


Negeri Cina pernah mengalami masa-masa yang sangat sulit. Lebih dari 27 juta orang meninggal dunia akibat kelaparan dalam selang waktu 1959-1963, saat mereka menjalani tahap awal Revolusi Kebudayaan. Persoalan mengapa hal tersebut terjadi juga sederhana: mengarang statistik pangan untuk mendapatkan ”Asal Bapak Senang”(2). Akhirnya, prediksi produksi pangan meningkat padahal kenyataan yang terjadi sebaliknya. Akibatnya untuk jangka waktu yang lama bangsa Cina di negaranya mengalami kesulitan pangan pokoknya.

Apa yang mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang berkecukupan pangannya sekarang? Menurut informasi yang saya terima dari salah seorang pejabat RRC penyebab utama yang membuat mereka bisa bangkit adalah kebulatan tekad para pemimpin RRC untuk bangkit di bidang pertanian ini. Artinya, pertanian di nomor-satukan, sambil sektor lainnya dibangun. Sebagai ilustrasi, Agriculture Bank of China (ABC) merupakan bank pertanian yang sangat besar yang mendukung perkembangan pertanian di negeri ini. Pada tahun 2002, dengan penerimaan US$ 10.3 milyar, ABC menyumbangkan US $ 242 juta kepada Jilin University untuk menyiapkan teknologi pertanian pada era 2020-an. Dengan perkataan lain, pihak perbankan di RRC menaruh perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikan dan riset di bidang pertanian dengan mengalokasikannya lebih dari 2.3 % dari penghasilannya. Sarana dan prasarana pertanian dan perdesaan juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Hasilnya adalah kemajuan pertanian di negeri Cina ini luar biasa dengan indikatornya yang sangat jelas: dari kelaparan ke kelimpahan pangan. Bahkan, menurut keterangan yang saya dapat dari pejabat di RRC, negeri ini memiliki stok padi yang cukup untuk tahunan lamanya apabila negeri ini mengalami paceklik panjang atau peperangan.


Kelimpahan pangan di Eropa Barat atau di Amerika Serikat pun yang menjadi simbol kemakmuran sekarang bukan berkat yang datang dari langit begitu saja. Kelimpahan pangan di belahan bumi ini hasil dari menempatkan pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah soal hidup atau mati bangsa ini. Kita mengenal sejarah kelaparan bangsa Irlandia pernah mengalami kelaparan yang menelan korban diperkirakan mencapai 2 juta jiwa. Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di Amerika Serikat, bangsa Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan. Abraham Lincoln-lah yang menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang punggung pertanian di Amerika pada saat itu. Kemudian Abraham Lincoln menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di Amerika Serikat, yaitu: Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani mendapatkan lahan per luasan 64 hektar; Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di seluruh negara bagian, dan membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenal dengan United States Department of Agriculture. Lankah besar Abraham Lincoln ini diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment Act 1933 yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya. Pandangan yang ”memuliakan” pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi untuk negara-negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan.

Di belahan bumi lainnya, yaitu Afrika Selatan, yang mana negara ini baru saja melepaskan diri dari politik warna kulit (apartheid), juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang sudah ”memuliakan” pertanian. Pada tahun 2002, di Afrika Selatan terbit Undang-Undang: Land and Agricultural Development Bank Act 2002. Dalam UU ini dengan sangat jelas ditulis: (1) menimbang bahwa praktek apartheid dan hukum yang rasialis pada masa lalu telah merugikan historically disadvantage people dari lahan yang mengakibatkan mereka tersingkirkan dari sektor pertanian dan menyebabkan ketimpangan pemilikan lahan yang terjadi secara rasial di Afrika Selatan, (2) Dalam rangka mengubah pola kepemilikan lahan dengan mengembangkan/mendorong lebih besar partisipasi dalam sektor pertanian oleh historically disadvantage people dan kepemilikan lahan oleh kelompok ini melalui penyediaan jasa keuangan yang tepat. Paling tidak UU ini membangun landasan baru bagi petani miskin di Afrika Selatan mendapatkan harapan baru akan masa depan yang lebih baik. Kita mengenal kemajuan yang pesat di wilayah ini, khususnya dalam bidang pergulaan dan industri lainnya yang berbasis tebu.


Sekarang, mari kita lihat negeri tetangga kita. Thailand pertaniannya relatif lebih maju dari kita. Di Thailand, selain kemajuan dalam berbagai hal, kita juga diperlihatkan oleh keberadaan Bank Pertanian mereka yang diberi nama Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ). Karena sebagai bank pertanian, maka BAAC sangatlah dekat dengan petani. Hal yang serupa juga terjadi di Malaysia. Kita mengenal Malaysia sebagai ”Raja Sawit” dunia dengan segala kemajuannya. Vietnam juga menyalip kita di bidang kopi, sedangkan Srilanka mengalahkan kita dalam hal teh dan kelapa.

Apa kesimpulan kita setelah melihat negara-negara lain yang mencapai kemajuan yang membuat kita merasa tertinggal? Kesimpulannya adalah bahwa bangsa yang memuliakan pertaniannya akan mendapatkan berkah berupa kemajuan dan kemakmuran bagi bangsanya. Hal ini telah saya kemukakan secara panjang lebar dalam buku ”Freedom for Farmers Freedom for All"(3).


Pengalaman Kita


Lain bangsa, lain pula jalan hidup sejarahnya. Bangsa Thailand merupakan bangsa yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lainnya. Bangsa kita, Malaysia, dan bangsa Afrika merupakan korban sejarah kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Cina, menyimpan ribuan tahun kekayaan budayanya dengan pergolakan pasang surutnya. Yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah suatu hipotesa, yaitu: Suatu bangsa hanya akan bisa mengatasi masalahnya secara hakiki apabila ia mampu menemukan jalannya secara orisinal.


Kata orisinal ini penting untuk kita pegang bersama mengingat pengalaman menjiplak atau mengandalkan pihak lain membuatkannya bagi kita semua, membuat kita terbuai tanpa terasa kita itu sebetulnya dibodohi. Selain kita yang membuatnya secara kreatif, juga tentu orisinalitas itu tidak berarti kita tidak mengambil referensi dari tempat lain. Orisinalitas di sini lebih diartikan sebagai buatan kita sendiri—tidak menjiplak dan tidak pula dibuatkan orang lain. Jadi, orisinalitas akan merepresentasikan—what we can be and what we can do.

Mari kita uji hipotesa tersebut. Kita mulai dari Thailand. Bangsa ini secara orisinal membangun negerinya dengan menjadikan pertanian rakyat sebagai landasan perekonomiannya. Lihat pabrik-pabrik gula di negeri Gajah Putih ini, semua tebunya berasal dari petani. Pengusaha besar dengan semangat kebersamaan dan saling-sayang, membangun industri pengolahan, pasar dan sektor modernnya. Apa yang dikerjakan Malaysia? Malaysia juga berkonsentrasi di pertaniannya. Para petani dibantu dan mereka berkonsentrasi di bidang yang mereka kuasai: Kelapa sawit. Walaupun kelapa sawit ini berasal dari Kebun Raya Bogor, tetapi bagaimana serangan kilat Malaysia mengambil posisi kelapa sawit dunia. Sekarang, Malaysia sudah menguasai perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Vietnam memberikan contoh yang unik dalam berperang melawan penjajahnya. Orisinalitas terletak pada gagasan menjadi ”cacing tanah” untuk mengalahkan tentara-tentara asing di negerinya. Berhasil! Sekarang dengan strategi pertaniannya juga berhasil mengejar kita. Amerika Serikat, Jepang dan Eropa Barat serta negara-negara maju yang tergolong dalam organisasi OECD sudah sangat jelas memulikan pertaniannya. Sebagai gambaran, pada tahun 2001 negara-negara OECD mengalokasikan subsidi buat pertanian mencapai US $ 311 milyar.


Apakah kita sudah memuliakan pertanian? Gambaran yang menunjukkan bahwa jumlah petani gurem terus meningkat merupakan gambaran yang menunjukkan bahwa masalah sangat besar sedang berada di hadapan kita semua. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan non-pertanian, khususnya industri dan jasa tidak memberikan kesempatan bagi setiap pertambahan angkatan kerja keluar dari pertanian. Artinya, walaupun nilai pertanian berkurang dalam produk domestik bruto (PDB) nasional, bebannya tidak berkurang secara proporsional. Saya pernah menghitung dengan menggunakan data 1959-2002 mengenai hal ini, dengan hasil sebagai berikut. Ternyata bahwa setiap penurunan 1 % PDB Pertanian dalam PDB nasional Indonesia hanya dikuti oleh 0.43 % penurunan tenaga kerja pertanian. Sementara itu, untuk perubahan nilai PDB pertanian dalam PDB nasional yang sama, penurunan tenaga kerja pertanian di Korea Selatan mencapai lebih dari 1.5 %, dan di Malaysia serta Thailand masing-masing sekitar 1.2 %. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kecenderungan di Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan di negara-negara maju lainnya luas lahan pertanian per petani terus meningkat sedangkan di kita makin menyempit.


Apa yang menjadi tema besar kita dalam pembangunan pertanian? Kalau kita amati bahwa Indonesia juga sudah banyak membangun pertaniannya, tetapi pembangunannya itu terlepas dari strategi besar secara keseluruhan. Akibatnya, satu sektor dengan sektor lainnya saling tarik menarik atau saling menghilangkan. Mirip yang terjadi dengan negara-negara yang belum maju, yang sebagian besar mengisi daftar negara-negara di dunia, adalah bahwa sektor pertanian yang didominasi oleh petani kecil sering dikalahkan. Dalam bidang pertanahan misalnya, apabila di Amerika Serikat (negara kapitalis), lahir Homestead Act 1862, maka di Hindia Belanda lahir Agrarischwet 1870, yaitu undang-undang pertanahan yang melandasi perkebunan besar. Kurang-lebih 100 tahun kemudian atau tepatnya 1967 dilahirkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang memberikan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) kepada para pengusaha, dan selanjutnya pada awal 1980-an lahir kebijaksanaan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang menjadi cikal-bakal perkebunan besar swasta yang menggurita pada saat ini.


Perlu saya kemukakan bahwa saya tidak anti perusahaan besar. Yang ingin saya sampaikan bahwa kita belum berhasil menyelesaikan persoalan warisan sejarah kolonialisme, yaitu adanya sistem ekonomi dualistik yang membahayakan situasi nasional kita pada masa mendatang. Bidang produksi pangan yang sebagian besar dikerjakan oleh para petani gurem, yang dipandang kurang menguntungkan tidak mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh apabila dilihat dari kaca mata penyatuan struktur ekonomi nasional. Sektor tradisional dengan sektor modern dibiarkan berhadapan dan sudah sangat jelas terlihat akibatnya bahwa sektor tradisional akan dikalahkan. Hal inilah yang menjadi penyebab utama ”kemunduran” pertanian kita, khususnya di bidang pangan.


Revolusi Hijau yang diharapkan akan menyelesaikan persoalan pangan rakyat pada dasarnya diperlukan, tetapi belum memenuhi persyaratan yang cukup. Bahkan, Revolusi Hijau dapat dilihat sebagai sumber ketergantungan baru dari para petani kita yang sebenarnya lebih banyak memberikan keuntungan kepada para pelaku bisnis di luar petani. Segala resiko dari penerapan teknologi berbasis kimia seperti pupuk dan pestisida dibiayai petani dan ditanggung petani. Kerusakan lingkungan yang parah sebagaimana digambarkan dalam ”Silent Spring” karya Rachel Carson merupakan korbanan yang harus dipikul petani dan bumi-alam sebagai akibat dari perilaku industri kimia yang berada di balik Revolusi Hijau. Lebih parah lagi di negeri kita, Revolusi Hijau tidak membuat kehidupan petani lebih baik lagi.


Organisasi yang melandasi pembangunan pertanian, khususnya pangan (baca: beras) juga pada dasarnya adalah organisasi sebagai instrumen negara untuk mencapai tujuannya, bukan instrumen petani untuk meningkatkan kemakmurannya. Dari sudut pandang petani, peningkatan produksi bukanlah tujuan apabila pendapatannya tidak meningkat sesuai dengan perkembangan peningkatan kebutuhan mereka. Hal ini berbeda dengan faham pengembangan organisasi petani di negara-negara maju, yaitu sebagai sumber membangun energi kekuatan petani agar bisa dan kuat meningkatkan kemakmurannya.


Pendekatan pembangunan institusi semacam itu akhirnya membangun perangkap sosial yang berbahaya untuk keberlanjutan pertanian. Perangkap sosial tersebut terletak pada melembaganya tradisi berpikir bahwa kalau petani tetap miskin adalah wajar saja karena mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat mereka menjadi lebih baik derajat kehidupannya. Kemudian, dengan begitu maka berkembanglah pola ketergantungan petani kepada pihak lain yang pada dasarnya mengambil manfaat yang lebih besar dari para petani daripada jasa yang mereka berikan kepada petani. Artinya, petani belumlah menjadi subyek dari pembangunan pertanian tetapi tetap saja sebagai obyek.

Perjalanan sejarah kita, sejarah yang menihilkan status, peran, fungsi, posisi dan kontribusi petani ini telah menyebabkan apa yang sering saya gambarkan dalam perumpamaan sebagai berikut:


Petani ini ibarat sebatang kayu bakar yang sudah habis terbakar, maka yang tertinggal hanyalah abunya saja. Energinya sudah berubah menjadi panas, asap, dan berbagai gas yang kembali kepangkuan bumi-alam. Itulah akhir dari hukum entropy sebagaimana diajarkan dalam pelajaran fisika. Oleh karena itu, apabila kita melihat persoalan pertanian ini dari sudut pandang entropy, maka untuk membangun pertanian Indonesia sekaligus juga mengembangkan sistem pangan, kita harus memulainya dari awal lagi, yaitu memulai dengan menanam pohon yang baru, yang mana abu tadi kita pakai sebagai pupuk untuk menyuburkan organisme yang baru ini.


Mungkin apa yang saya gambarkan di atas terlalu mengada-ada. Tetapi, memang begitulah adanya: bagaimana mungkin kita melanjutkan perjalanan kita ke depan dengan selamat apabila kita sudah menggunakan jalan tersebut selama ini dan kita sudah mengetahui hasilnya dengan pasti: kita bakal gagal lagi. Gagal ini diartikan sebagai trend kinerja yang menurun atau trend kinerja pertanian yang tidak dapat mengatasi perkembangan kebutuhan rakyat yang bergerak lebih cepat lagi. Saya sering menyebutnya bahwa kita harus bisa dan kuat membalik arus dan gelombang sejarah agar kita bisa sampai di tujuan sebagaimana telah dinyatakan dalam cita-cita kemerdekaan NKRI.


Membalik Arus dan Gelombang Sejarah:

Memuliakan Petani-Memuliakan Semua


Sebelum saya menguraikan isi bagian ini, saya menyitir tiga pandangan tentang pertanian dari pemimpin Bangsa Barat, yang menurut persepsi kita sering kita pandang sebagai bangsa industri atau bangsa yang tidak melihat pertanian itu sebagai hal yang utama.

George Washington, Presiden Amerika Serikat-I menyatakan bahwa:
Agriculture is the most healtful, most useful and most noble employment.

Sedangkan menurut Thomas Jefferson:
No occupation is so delightful to me as the culture of the earth, no culture comparable to that of the garden.


Pandangan Benjamin Franklin lebih gamblang lagi dengan membandingkan antara pertanian, menaklukan dan berdagang. Menurut Franklin:
There seem to be but three ways for a nation to acquire wealth. The first is by war, as the Romans did, in plundering their neighbors. This is robbery. The second by commerce, which is generally cheating. The third is by agriculture, the only honest way, wherein man receives as real increase of the seed thrown into the ground, in a kind of continual miracle, wrought by the hand of God in His favor, as reward for his innocent life and his virtuous industry.

Membalik arus dan gelombang sejarah memulainya dengan menanam akal-budi bahwa petani dan masyarakat yang menjadi subyek yang kita bicarakan, bukan komoditas. Jadi, apabila pada masa lalu kita berbicara target produksi padi meningkat X juta ton, maka sekarang adalah apa, berapa banyak, kapan, dimana dan bagaimana petani mendapatkan manfaat apabila mereka dimohon untuk mengalokaskan lahan, pemikiran dan tenaganya untuk mencapai peningkatan produksi X juta ton tersebut.

Dengan perubahan cara pandang yang mengangkat para petani sebagai subyek ini akan mengubah segala hal yang selama ini terabaikan. Perubahan status dari obyek menjadi subyek membuka peluang untuk kesejajaran posisi antara petani yang menghasilkan pangan dengan para pihak yang memerlukan pangan. Jadi, kita menghargai bahwa posisi petani tidaklah lebih rendah dari posisi siapapun sehingga mereka harus duduk di lantai sedangkan pihak lain duduk di kursi tinggi. Dengan demikian, petani sebagai subyek memiliki kemerdekaan untuk mengatakan ya atau tidak sesuai dengan pandangan mereka.

Mungkinkah hal ini terjadi apabila sebagian besar dari petani itu merupakan masyarakat miskin? Sebelum menjawab mungkin atau tidak mungkin, data menunjukkan bahwa status petani yang memiliki posisi tidak lebih rendah dari status profesi lainnya sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju ternyata memberikan laju kemajuan yang melahirkan masyarakat maju di dunia. Ingat, yang pertama kali dilakukan oleh Abraham Lincoln juga memerdekakan para budak dan mengembangkan pertanian dengan mengangkat statusnya ke tempat yang sejajar dengan profesi lainnya. Jadi, selain secara moral memang status petani itu tidak lebih rendah dari status profesi lainnya, data pun mendukung bahwa dengan meningkatkan status petani ke tempat yang semestinya suatu bangsa akan bisa mewujudkan kemajuan dibanding bangsa yang menempatkan petani pada status dan posisi yang lebih rendah.

Kalau begitu, dimanakah letak persoalannya sehingga status petani dan posisi petani ini lebih rendah dari yang lainnya? Apakah mungkin pertanian akan maju dan ketahanan pangan akan meningkat apabila petaninya tetap atau bahkan bertambah miskin?

Memang kita kelihatannya jarang membahas persoalan yang sifatnya mendasar ini, atau bahkan kita juga mungkin menganggap tabu untuk membahasnya. Atau, apakah mungkin kita juga sudah lupa asal-usul kita yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan leluhur kita juga bermukim di perdesaan? Padahal, setiap perubahan memerlukan pemimpin yang memiliki tali batin dengan masyarakat yang memilihnya sebagai pemimpin mereka. Kuatnya tali batin inilah yang akan terus secara turun-temurun akan membangkitkan perjuangan untuk mengubah perjalanan sejarah pertanian ini. Siapa yang memiliki tali batin yang kuat dengan para petani dan penduduk desa?

Dalam perjalanan sejarah yang sifatnya membalik arus dan gelombang ini halangan terbesar adalah cara pandang yang membuat pertanian dengan non-pertanian atau petani dengan non-petani diposisikan secara bertentangan alias dikotomi. Padahal, keduanya itu menyatu dan komplemen, keduanya saling mendukung. Kembali lagi, hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan di negara-negara maju. Negara-negara berkembang biasanya terperangkap oleh tradisi kolonial yang terus dilanjutkan hingga sekarang, yaitu berlaku seperti asing terhadap pertanian di negaranya dan membuka pintu yang lebar bagi komoditas pertanian yang dihasilkan di negara-negara maju, sehingga kita lebih mengenal produk-produk pertanian impor daripada hasil bumi-alam sendiri.

Perubahan status petani sebagaimana diuraikan tidak akan menyelesaikan persoalan dalam satu malam. Yang paling penting dari hal ini adalah kita sudah berada pada posisi dan arah yang benar. Persoalan berikutnya adalah bagaimana petani meningkatkan kapabilitasnya—ini adalah persoalan kemampuan dan kesempatan, bukan lagi persoalan status. Kemampuan petani akan cepat meningkat apabila negara mengembangkan sistem sebagaimana yang telah diciptakan oleh Abraham Lincoln atau Franklin D. Roosevelt; atau yang dikembangkan di Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Cina dan negara-negara lainnya. Tentu saja, kita olah semuanya itu sehingga menjadi sesuatu yang orisinal hasil Indonesia yang cocok untuk Indonesia. Saya gunakan istilah Negara, bukan Pemerintah, mengingat persoalan pangan dan pertanian ini bukan sekedar persoalan pemerintah, tetapi juga persoalan yang berkaitan dengan DPR, BPK, Bank Indonesia, dan masyarakat pada umumnya: persoalan kita semua.

Memuliakan petani pada dasarnya adalah membalas budi kepada pihak yang telah memberikan syariat kehidupan bagi kita semua, sehingga kita bisa mengerjakan pekerjaan yang lain (yang kita suka mengerjakannya), dan kita mengetahuinya pula dengan pasti bahwa para petani yang menghasilkan makanan bagi kita itu, hidupnya mungkin bertambah miskin. Inilah modal spiritual kita untuk bisa membalik arus dan gelombang sejarah pertanian kita, mengembalikannya dari ”abu” menjadi ”tanaman kembali”. Hal lain hanyalah bersifat teknis saja.

Investor yang Mengubah Abu menjadi Tanaman Baru

Mengapa petani menjadi abu? Salah satu penyebabnya adalah begitu ganasnya hukum uang yang dinyatakan dalam sistem bunga berbunga—compounding interest rate, yang tidak mampu diikuti oleh ”hukum alam”, yaitu fungsi produksi di sektor riil seperti pertanian. Kita menyaksikan bahwa hukum uang itu sifatnya eksponesial, sedangkan hukum alam itu gerakannya logaritmik. Hal dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Nilai

Waktu

Gambar 1. Hubungan antara gerakan waktu dengan nilai bunga berbunga dengan nilai sektor riil.


Gambar 1 menunjukkan bahwa sektor nilai rill gerakannya cepat pada awalnya tetapi kemudian berkurang dan pada akhirnya cenderung menurun sejalan dengan waktu. Apabila bunga pinjaman modal 14 %/tahun, maka nilai pinjaman Rp 1 akan menjadi Rp 2 pada tahun ke-5. Apabila bunganya itu 30 % pertahun, maka nilai pinjaman akan menjadi dua kali dari nilai awal, misal Rp 1, sebelum tahun ke-3 tiba. Sedangkan kalau bunga 10 %, maka nilai hutang kita akan menjadi dua kalinya pada tahun ke-7 tiba. Untuk usaha pertanian, apalagi usaha pertanian yang sifatnya tanaman tahunan seperti karet, maka bunga tinggi itu akan sangat memberatkan petani. Pasar modal di negara-negara berkembang biasanya mengenakan bunga yang tinggi, maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan petani akan semakin miskin sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Bukan hanya itu, kehidupan masyarakat perdesaan pada umumnya akan semakin sulit apabila bunga tinggi tetap dijadikan instrumen dalam pasar modal kita. Dengan model ini kita tidak mungkin bisa mengubah abu menjadi tanaman baru. Bahkan, modal pertanian akan sangat cepat terkuras dan tersedot ke kota-kota oleh kekuatan pasar uang yang luar biasa besarnya, yang meninggalkan kemiskinan dan keterbelakangan di desa-desa.


Selama ini petani sebagai investor langsung—mengalokasikan lahan, tenaga dan modalnya, termasuk kesabarannya untuk menunggu panen sekitar 4 bulan untuk padi atau sekitar 5 tahun atau lebih untuk karet. Dalam menginvestasikan modalnya petani biasanya enggan menggantungkan dirinya pada pinjaman mengingat bunganya yang tinggi, disamping petani tidak memiliki agunan serta petani sering dipandang tidak bankable. Sebenarnya, tidak bankable-nya pertanian ini bukanlah sebab, tetapi akibat dari sistem yang berjalan selama ini.

Fenomena di atas menjelaskan mengapa terjadi underinvesment dalam bidang pertanian di negara-negara berkembang.


Apa jalan keluar dari fenomena di atas? Jalan keluarnya adalah kita harus mengembangkan sistem yang mampu menggantikan sistem ”jual-beli” modal (pinjam-meminjam) menjadi sistem ”investasi bersama” dengan petani. Model ini dapat dikatakan sebagai model syariah atau model bagi hasil. Artinya, negara membangun sistem dimana petani bisa mendapatkan mitra kerja yang sejajar dengannya, yaitu mitra kerja yang berstatus dan berperilaku sebagai investor sebagaimana yang dilakukan petani. Secara khusus hal ini perlu menjadi bidang usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi pelopor sebagai mitra petani.


Dewasa ini sedang dikembangkan model dimaksud dimana BUMN Pupuk (Pupuk Kujang), benih (Sang Hyang Seri), air (Jasa Tirta), dan PT. Pertani serta perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pergudangan untuk berinvestasi bersama petani. Model sementara mencapai kesepakatan bagi hasil sebagai berikut: 40 % petani, 40 % investor, 10 % koordinator dan 10 % jasa air, semuanya diukur oleh gabah. Dalam model ini petani tidak mengeluarkan dana dalam memenuhi kebutuhan modal usahanya.


Tahapan berikutnya akan dikembangkan semacam Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang akan menjadi mitra BUMN atau BUMS. Modal yang dikumpulkan bersumber dari surplus usaha yang diinvestasikan dalam BUMP, beserta modal yang diinvestasikan oleh BUMN atau BUMS. BUMP ini dipandang sebagai wadah mengumpulkan energi seluruh masyarakat agar bisa terkumpul potensi dan kemampuan mengangkat/memutar (leverage) yang besar. Sebagai ilustrasi, apabila kita mengharapkan dapat mengolah semua hasil dari padi seperti: beras, sekam padi untuk listrik, bekatul untuk stabilized rice bran, abu sekam untuk bahan baku industri, menir menjadi tepung, dan produk lainnya, untuk areal 10.000 ha diperlukan modal sekitar Rp 450 miliar. Dengan modal ini, kita akan mendapatkan nilai penjualan lebih dari Rp 1.02 triliun dalam setahun.

Apakah mungkin kita menciptakan sistem semacam itu?


Kembali kita harus melihat dunia di sekeliling kita agar kita tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung. Menyebut beberapa saja, di Israel kita mengenal Kibutz, di Amerika Serikat kita juga menemukan banyak perusahaan petani seperti US Crystal Sugar Company. Jadi, membangun BUMP secara prinsip adalah memungkinkan. Sekarang, hanya tinggal apakah kita bisa mewujudkan gagasan ini menjadi suatu kenyataan atau tidak.

Tanpa kita memasukkan pendapatan di luar gabah atau beras, apabila sinergi antar semua pihak dapat diwujudkan sehingga produktivitas lahan sawah meningkat 2 ton per hektar, kita akan memperoleh gambaran sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.


Tabel 1.


Hasil perhitungan menunjukkan bahwa per 10.000 hektar, apabila kita bisa memanfaatkan lima jenis produk dari padi, yaitu: beras, tepung menir, listrik dari sekam padi, stabilized rice bran, dan abu sekam maka dapat diperoleh selain nilai ekonomi sebagaimana disebutkan di atas, juga akan tercipta lapangan pekerjaan untuk 10 orang sarjana per unit BUMP dengan skala 10.000 ha serta berkembangnya kesempatan kerja bagi masyarakat luas.


Selain itu, penggunaan sekam padi untuk sumber energi perdesaan akan meningkatkan indeks pengembangan energi perdesaan yang bersumber dari bahan energi terbarukan dan tersedia secara lokal. Sebagai ilustrasi, dari setiap ton gabah tersedia sekam sekitar 220 kg yang akan menghasilkan energi sekitar 150 Kwh. Kebutuhan untuk menggiling padi menjadi beras per ton dibutuhkan energi sekitar 30-50 Kwh. Jadi, masih ada surplus energi. Dengan produksi 55 juta ton gabah, Indonesia memiliki potensi sekam untuk energi listrik sekitar 8200 Gwh. Potensi ini sangatlah strategis mengingat potensinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, khususnya bagi yang bermukim di perdesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap indeks pengembangan energi meningkat 1 %, maka indeks pengembangan sumberdaya manusia akan meningkat sekitar 1 %. Jawa Barat memiliki potensi yang besar untuk mendapatkan manfaat dari keberadaan lumbung padi di wilayah kita ini.

Gambar 2.


Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa petani sebagai INTI dari BUMP mengingat secara organisasi petani sebagai satu kesatuan memiliki nilai asset yang lebih besar, khususnya asset yang tidak dapat dinilai dengan uang. Dalam bentuk nilai stok (sawah) dan aliran barang (gabah/beras) per 10.000 ha masing-masing nilainya Rp 60 milyar (asumsi nilai sewa tanah sawah/ha Rp 6 juta/tahun) dan Rp 125 milyar (asumsi hasil gabah 5 ton/ha dan harga gabah Rp 2500/kg). Untuk bisa memanfaatkan asset ini secara optimal dan untuk mempercepat laju industrialisasi perdesaan maka BUMN perlu mengambil inisiatif sebagai lembaga pendiri BUMP ini.


Dengan kerangkan pemikiran di atas maka kita akan memiliki kekuatan untuk membangun kembali pertanian yang sekarang ini sudah menjadi abu. BUMP merupakan lembaga usaha yang perlu diciptakan untuk instrumen agar investasi dapat berkembang di perdesaan. Mengingat struktur pasar modal kurang mendukung sektor pertanian, maka diperlukan modalitas baru yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi pertanian dan perdesaan kita. Dengan BUMN mengambil inisiatif menjadi Badan Pendiri BUMP, maka akan tercipta modalitas baru untuk merancang dan mengembangkan investasi besar dalam proses industrialisasi pertanian dan perdesaan.


Lembaga Regulator


Pengertian lembaga legulator dalam tulisan ini adalah lembaga yang memiliki kekuatan yang cukup untuk membalik arus dan gelombang sejarah pangan dan pertanian kita. Kekuatan ini tidak semata-mata terletak pada kekuasaan yang bisa mengatur alokasi dan distribusi sumberdaya dengan menggunakan kekuatan fisik atau police power. Pada masa mendatang, kekuatan yang kita perlukan adalah kekuatan untuk melakukan inovasi dan proses kreativitas untuk menciptakan bukan hanya nilai tambah, tetapi kekuatan yang juga mampu mendistribusikan manfaatnya secara adil. Di sinilah letak strategis dari keberadaan dan kemampuan organisasi petani dan badan usaha yang dimiliki oleh petani dengan mitra kerjanya yang bisa bersenyawa dengan kepentingan petani.


Peran Pemerintah tetap penting. Bahkan, Pemerintah memiliki posisi, fungsi dan kekuatan yang sangat besar dalam menentukan arah pembangunan pertanian dan ketahanan pangan pada masa mendatang. Kekuatan tersebut bukan harus diwujudkan dalam regulasi yang menghambat proses investasi, melain kekuatan yang menumbuhkan iklim investasi yang subur, sehat dan kuat bagi para investor mau bekerjasama dengan petani. Pembicaraan dengan Bupati Ngawi baru-baru ini memberikan pelajaran bahwa kekuatan Pemerintah Kabupaten Ngawi terletak pada peran Bupati Ngawi dalam mengundang investor untuk masuk dan bekerjasama dengan para petaninya. Bupati Ngawi bukan hanya mempermudah proses perizinan tetapi membebaskan seluruh biaya perizinan demi tumbuhnya investasi dalam bidang pengolahan padi di kabupaten ini. Hasilnya yang segera dapat dilihat adalah bahwa investor dari Singapura sedang dalam proses membangun industri pengolahan gabah di kabupaten ini dengan kapasitas olah 930 ton gabah/hari dan nilai investasi sekitar Rp 67 miliar.


Selanjutnya, baru-baru ini juga saya berjumpa dengan beberapa orang industriawan Indonesia yang menanamkan modalnya di bidang industri pengolahan gabah di Thailand. Industriawan ini menjelaskan bahwa mereka enggan menanamkan modalnya di Indonesia mengingat ruwet dan kurang terjaminnya investasi di Indonesia. Dengan kenyataan demikian, saya pikir, kita perlu mawas diri agar investor mau bekerjasama dengan petani dan kita semua.

Pengalaman di bidang pergulaan juga menunjukkan bahwa kebijaksanaan Pemerintah yang tepat akan berdampak positif pada kinerja pertanian di Indonesia. Dengan adanya kebijaksanaan yang bisa mengintegrasikan antara impor dan produksi nasional, ternyata dalam tempo 3 tahun kita dapat meningkatkan produksi gula sekitar 600 ribu ton. Selain itu, para petani tebu telah menikmati hasil keringatnya melalui pendapatan mereka yang meningkat dan para investor juga tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang pergulaan. Dewasa ini kita sedang menyiapkan investasi sekitar Rp 9.4 triliun untuk membangkitkan kembali industri pergulaan kita.


BUMN yang bergerak di bidang agroindustri, khususnya BULOG memiliki potensi yang besar dalam usaha kita meningkatkan sistem ketahanan pangan dan sekaligus juga meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani apabila kita bisa merancang kebijaksanaan yang mampu membalik arus dan gelombang sejarah pertanian dan sistem pangan kita. Kita harus mengkaitkan secara komprehensif antara kebutuhan impor dan peran BULOG dalam meningkatkan produksi pangan nasional. Misalnya, setiap 1 ton impor beras, BULOG harus meningkatkan produksi beras minimal 2 ton. Maka, dalam jangka waktu yang tidak lama, produksi beras kita akan meningkat karena kebijaksanaan ini akan mendorong BULOG untuk kreatif dan bekerja keras secara terfokus dan bersinergis dengan BUMN lain dan dengan petani. Hubungan BULOG dengan petani harus menjadi seperti ikan dengan air.


Penutup


Revitaliasi pertanian pada dasarnya adalah usaha menghidupkan kembali pertanian kita yang sudah menjelang kematian. Konsep revitalisasi berbeda dengan konsep reformasi, transformasi atau restrukturisasi, yaitu dalam konsep revitalisasi terkandung makna adanya ruh baru. Ruh baru ini adalah kehidupan baru. Ruh baru ini yang akan membalik arus dan gelombang sejarah pertanian kita pada masa mendatang. Jadi, tepatlah kita menggunakan istilah soal hidup atau mati, apabila pembangunan pertanian dan ketahanan pangan yang kita maksud ini adalah revitalisasi pertanian.


Inti dari revitalisasi pertanian ini adalah masyarakat petani itu sendiri. Itulah intinya kehidupan pertanian. Mengingat kondisi pertanian pangan kita sudah menjadi abu, sudah menjelang ajal, atau bahkan sudah banyak yang mati, maka BUMN perlu menjadi lembaga pendiri atau penghidup kebangunan pertanian kita. Instrumen yang sangat strategis adalah badan usaha yang dimiliki petani, sebagaimana para usahawan swasta memiliki badan usaha sebagai kendaraannya untuk mencapai kemajuan dan kemakmurannya.Hal yang sama berlaku juga untuk petani. Hal inilah yang harus segera kita kerjakan. Gagasan ke arah itu sudah matang dan mantap, tinggal apakah kita mau, bisa dan kuat untuk mewujudkannya. Dengan ini ketahanan pangan kita akan meningkat dan pertanian kita akan hidup subur kembali.


Sebagai ungkapan perasaan, pada bagian akhir penutup ini saya sampaikan sebuah puisi yang saya ciptakan sendiri dan saya bacakan pada Munas pendirian Asosiasi Petani Padi Palawija di Jawa Timur, 3 September 2007 yang lalu. Mudah-mudahan bermanfaat.


Terima kasih.


Wasalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh.


Terpujilah Petani


Surabaya
, 2 September 2007: 23.45 PM


(1) Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.


(2) Lihat Amartya Sen, 1987. “Food and Freedom”, Sir John Crawford Lecture, Washington, D.C., October 29, 1987.


(3) Agus Pakpahan, 2007. Freedom for Farmers Freedom for All. Ideals, Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar