Jumat, 30 Oktober 2009 | 05:15 WIB
Oleh:
Agus Pakpahan
Transformasi Industri Gula Indonesia diwarisi anugerah sejarah, yaitu pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia pada era 1930-an.
Apabila melihat ke sekeliling, kita menemukan konstelasi geografi-ekonomi pergulaan dunia, antara lain China telah menetapkan kehendaknya, yaitu menjadi the new emerging world superpower in sugar (Yang-rui Li, 2004). Brasil, dengan pilihannya yang ditetapkan pada awal 1970-an, telah menjadi superpower di bidang gula. Adapun Australia dan Thailand telah menjadi negara pengekspor gula penting dunia.
Selanjutnya, perkembangan terakhir yang cukup mengejutkan dunia adalah meningkatnya harga-harga komoditas pangan, khususnya gula.
Harga pangan yang selama lebih dari 50 tahun cenderung turun dan pada periode 1999-2003 mencapai nilai indeks harga pangan (IHP) 89,5-98,3 (dengan tahun dasar 2002-2004 > 100), tetapi tiba-tiba nilai IHP ini melonjak menjadi 190,9 pada 2008.
Adapun indeks harga gula melonjak hingga 318 pada Agustus 2009. Lonjakan harga gula di dalam negeri juga sempat merisaukan banyak pihak, mengingat kenaikannya luar biasa.
Pilihan yang harus diambil
Pada tahun 2008 konsumsi gula Indonesia diperkirakan mencapai 4,15 juta ton, yang terdiri atas komponen gula kristal putih (GKP) 2,55 juta ton dan gula kristal rafinasi (GKR) 1,6 juta ton. Data ini menunjukkan bahwa keperluan GKP, yaitu untuk konsumsi rumah tangga, sudah dapat dipenuhi oleh produksi gula GKP dalam negeri yang mencapai 2,67 juta ton.
Produksi gula nasional selama 10 tahun terakhir meningkat dengan pertumbuhan 4,32 persen per tahun. Pada 1999 produksi gula nasional hanya 1,48 juta ton, meningkat menjadi 2,7 juta ton pada 2008, dengan 67 persen dari gula tersebut dihasilkan di Jawa.
Peningkatan produksi ini disebabkan peningkatan produktivitas tebu, rendemen, dan luas areal tebu selama 10 tahun terakhir.
Produktivitas tebu secara keseluruhan meningkat dari 62,6 ton per hektar pada 1999 menjadi 75,8 ton per hektar pada 2008, sedangkan rendemen meningkat dari 6,97 persen pada 1999 menjadi 8,14 persen pada 2008. Adapun luas areal tebu meningkat dari 340.000 hektar pada 1999 menjadi 440.000 hektar pada 2008.
Tingkat rendemen 8,14 persen merupakan pencapaian tertinggi selama kurun waktu 20 tahun terakhir. Strategi peningkatan rendemen ini jauh lebih murah dan efektif dibandingkan dengan perluasan areal.
Andaikan rendemen ini mencapai 10 persen saja, produksi gula nasional dari produksi tebu 33,3 juta ton dapat menghasilkan 3,33 juta ton gula kristal putih. Upaya peningkatan rendemen ini menjadi fokus perhatian pengelolaan industri gula sekarang.
Apabila kenaikan konsumsi gula 2 persen per tahun, pada tahun 2025 konsumsi gula diperkirakan mencapai 5,81 juta ton. Apabila produksi gula di dalam negeri tidak dapat ditingkatkan, diperkirakan pada waktu itu akan terjadi defisit gula sekitar 3,14 juta ton (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia/P3GI).
Potensi pasar yang cukup besar di Indonesia akan mendorong pihak eksportir dari negara lain mencoba mendesak masuk ke Indonesia dengan berbagai cara. Padahal, gula tersebut seharusnya menjadi captive market bagi Indonesia. Selain itu juga tidak ada komoditas di Indonesia yang sistem agribisnisnya sudah sangat lengkap, kecuali gula. Karena itu, gula dapat dijadikan bahan pembelajaran dalam proses industrialisasi di Indonesia.
Eko-agrokimia
Dengan melemahnya tren harga gula dalam jangka lebih dari 50 tahun terakhir, perlu disadari bahwa hal itu telah memperlemah industri gula di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pabrik gula di Indonesia jumlahnya berkurang dengan ditutupnya 11 pabrik gula, yaitu 10 pabrik gula di Jawa dan 1 pabrik gula di luar Jawa.
Hal ini terjadi saat krisis multidimensi tahun 1997-1998. Dari 178 pabrik gula dengan kapasitas 240.000 ton tebu giling per hari (TCD) pada 1930-an, dewasa ini Indonesia tinggal memiliki 60 pabrik gula dengan kapasitas produksi yang lebih rendah, yaitu 206.000 TCD.
Dari pabrik gula yang ada tersebut, tersedia potensi untuk menghasilkan gula sekitar 3,71 juta ton. Dengan demikian, untuk menutup defisit 2,1 juta ton dari perkiraan total kebutuhan gula 5,81 juta ton pada tahun 2025, cukup dibangun pabrik gula baru dengan kapasitas 131.000 TCD serta peningkatan kapasitas pabrik gula yang ada sebesar 25.000 TCD. Hal inilah yang sekarang dirancang oleh BUMN perkebunan.
Strategi pengembangan industri gula perlu berubah. Pengembangan industri eko-agrokimia berbasis tebu sedang dalam proses perancangan, ini didasari oleh kenyataan bahwa tebu memiliki potensi untuk menghasilkan sekitar 150 jenis produk, di antaranya asam amino, vitamin, asam organik, pelarut, polimer, protein, enzim, alkohol, silase, selulosa, listrik, dan biodegradable plastic. Kata ”eko” di depan kata ”agrokimia” dimaksudkan bahwa industri berbasis tebu ini haruslah merupakan industri yang ramah lingkungan.
Sebagai ilustrasi, dewasa ini dari 437.000 hektar kebun bobot tebu yang digiling mencapai 33 juta ton. Jumlah tebu ini memberikan potensi ekonomi setara dengan 10,59 juta ton ampas (32 persen), 1,62 juta ton tetes (4,9 persen), 1,16 juta ton belotong (3,5 persen), serta 4,4 juta ton pucuk dan serasah tebu.
Potensi bahan baku dalam jumlah besar ini sekarang belum banyak dimanfaatkan, dan ini membuka peluang untuk diolah lebih lanjut menjadi bahan yang bernilai ekonomis tinggi serta ramah lingkungan.
Dari 50 produk yang dapat dihasilkan dari tebu dan sudah masuk kancah dunia perdagangan, Indonesia bisa mengembangkan industri untuk mengolah 10 jenis produk unggulan dari tebu, yaitu 6 jenis produk berbahan baku tetes (ethanol hydrous, monosodium glutamat, L-lysine, aceti acid, ethyl acetat, asam sitrat, dan ragi roti), 1 produk berbahan baku tetes atau nira (ethanol ahydrous), dan 3 jenis produk berbahan baku ampas (kertas, papan particle, dan listrik).
Dewasa ini sedang dirancang 15 pabrik gula baru dengan kapasitas 131.000 TCD untuk menghasilkan 2,1 juta ton gula. Empat di antaranya kini sudah tahap persiapan produksi atau dalam proses pendirian, sementara 11 pabrik gula masih dalam perancangan.
Biaya yang diperlukan untuk membangun 11 pabrik gula tersebut sekitar Rp 18,13 triliun. Hasil analisis menunjukkan antara lain internal rate of return (IRR) untuk pabrik gula yang menghasilkan produk tunggal 19,64 persen, gula-etanol-listrik 26,4 persen, dan gula-etanol-listrik-ternak 25 persen (P3GI).
Komponen ternak ini diperlukan sebagai upaya pengembangan pupuk organik serta membuka kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di sekitar pabrik gula.
Jawa yang padat penduduk sering dinilai tidak cocok untuk pengembangan industri gula. Yang menarik sebetulnya adalah tebu. Pucuk tebu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, surplus ampas tebu untuk menghasilkan berbagai macam produk, termasuk listrik serta produk industri lain.
Sebagai ilustrasi, dari setiap pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD dapat dihasilkan listrik 12 MW. Karena itu, dengan merevitalisasi pabrik gula yang ada sekarang dengan kapasitas 206 TCD, dapat diproduksi 412 MW. Ini merupakan jumlah yang tidak kecil untuk mendukung ketersediaan listrik di pedesaan.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa sekitar 60 persen pendapatan perusahaan bisa diperoleh dari hasil penjualan produk non-gula. Apabila proses pengolahan berlanjut dan menghasilkan produk derivat tebu pada tingkat akhir, nilainya bisa mencapai 500-700 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga gula.
Hasil P3GI menunjukkan bahwa model korporatisasi petani memberikan nilai kelayakan proyek yang memadai. Model corporate community (penyempurnaan dari model PIR) ini sangat cocok diterapkan di Jawa, mengingat selama ini keberadaan petani hanya sebagai pemasok bahan baku dan, sebaliknya, pabrik gula hanya mengolah tebu dengan pola bagi hasil gula.
Model korporatisasi petani ini yang saya maksud sebagai model gotong royong modern yang tetap merakyat dan ini cocok untuk dikembangkan di Jawa. Rancang bangun model ini sedang dipersiapkan.
Agus Pakpahan Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan
sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/30/05154694/industri.nasional.berbasis.tebu
atau
Kompas Media Cetak : 30 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar