SUARA PEMBARUAN DAILY
Luka Perasaan Tanah dan Air
Oleh Agus Pakpahan
ANUSIA biasa berbohong, tetapi tidak demikian halnya akan perilaku alam. Tanah dan air merupakan bagian alam yang selama ini perasaannya terluka, sehingga tanah dan air menjadi marah kepada manusia. Tanah dan air diberikan oleh Tuhan Sang Pencipta kepada kita sebagai sumber kehidupan manusia, tetapi karena hati dan perasaannya terus dilukai, tanah dan air marah. Akibatnya menjadi bencana menurut kaca mata kita. Sebenarnya, marahnya tanah dan air bukanlah hal yang baru. Kisah Nabi Nuh menggambarkan betapa hebatnya air menjadi zat pemusnah. CW Lowdermilk dalam tulisannya Conquest of the Land Through Seven Thousand Years, yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (1948) mengisahkan bagaimana kita dapat belajar dari peradaban kuno yang hancur sebagai akibat marahnya tanah dan air ini.
Hancurnya hutan tropis akibat eksploitasi yang melebihi batas daya dukungnya, erosi tanah yang melampaui batas regenerasi tanah secara geologis, menyusutnya plasma nutfah sebagai akibat budidaya pertanian yang mengabaikannya, dan berbagai ulah manusia yang tidak bijaksana, telah menyebabkan tanah dan air marah terus- menerus.
Tulisan ini merupakan ungkapan bagaimana kita harus melihat alam, yang secara simbolis dinyatakan dengan tanah dan air, dari perspektif yang lebih arif dan bijaksana, daripada dipandang hanya sekadar sebagai instrumen, alat atau bahkan sekadar input proses kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Dari Tanah
Tuhan menciptakan manusia dari tanah. Manusia mati juga kembali ke tanah. Artinya, tanah tidak sekadar benda mati, tetapi ia merupakan esensi kehidupan. Air dan tanah menyatu, menjadi satu jiwa yang hidup. Tidak ada air, juga tidak ada kehidupan. Karena itu kita mengatakan Tanah-Air dalam konteks yang tak terpisahkan, sebagai ibu dari suatu kehidupan.
Kalau tanah-air sebagai ibu dari suatu kehidupan, maka ia menjadi lebih tinggi posisinya dari manusia. Kita harus hormat dan menjaga agar ibu tetap sehat dan penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Anak-anak yang durhaka kepada Ibunya, akan menerima adzab, yang akhirnya sengsara sepanjang masa. Peradaban yang dibangun dengan congkak, karena kehilangan sifat cinta kearifan dan kebijaksanaan akan berakhir bukan dengan peradaban baru, tetapi akan berakhir dengan kehancuran dirinya. Kehancuran terjadi karena kebiadaban yang dijalankan. Menghancurkan tanah-air, adalah kebiadaban, bukan membangun peradaban.
Tanpa menggunakan sudut pandang ini, manusia akan makin congkak. Karenanya manusia tidak dapat belajar dari kesalahan yang diperbuat pada masa lalu. Maka, terjadilah banjir pada musim hujan, dan kemarau panjang yang mematikan pada musim kemarau. Bencana kelaparan dan kemiskinan yang berkepanjangan akan terjadi sepanjang masa. Pertanian akan mati. Kota-kota akan mati dan akhirnya peradaban akan hilang.
Pertanian telah berkembang paling tidak sejak 7.000 tahun yang lalu. Pertanian ini berkembang di dua pusat peradaban: Mesopotamia dan Lembah Nil. Kemudian berpindah ke Cina, yang selanjutnya pindah ke Eropa dan kemudian menyeberang Lautan Atlantik, ke Amerika.
CW Lowdermilk melakukan perjalanan selama 18 bulan (1938-1939) mengelilingi Eropa Barat, Afrika Utara, Timur Tengah, dan sebelumnya ia pernah beberapa tahun tinggal di Cina, mempelajari masalah erosi tanah dan kaitannya dengan penggunaan lahan. Walaupun sudah 65 tahun berlalu, apa yang dilaporkan oleh Lowdermilk masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang. Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini, akibatnya akan seperti apa yang telah menjadi peninggalan sejarah peradaban sebagaimana yang telah disampaikan dalam laporan Lowdermilk tersebut. Bagian berikut ini bersumber dari hasil penelitian Lowdermilk dimaksud.
The Hundred Dead Cities.
Di bagian utara Siria, terdapat kawasan lebih dari satu juta hektare yang telah hancur karena erosi tanah, yang berada antara Hama, Aleppo dan Antioch. Arkeolog Perancis, Father Matters, menemukan lebih dari 100 kota mati, dan menamakannya "cent villes mortes" atau "Hundred Dead Cities". Hancurnya peradaban di kawasan ini diakibatkan oleh erosi tanah. Apabila tanah ini masih ada, maka kalaupun penduduknya pindah, kawasan tersebut masih dapat dihuni dan dibangun kembali. Karena tanah telah pergi, maka semuanya pergi.
Hancurnya Hutan di Lebanon. Sekitar 5000 tahun yang lalu, suku Semit menduduki bagian pantai timur Mediterania dan mendirikan kota pelabuhan Tyre dan Sidon. Suku ini kemudian membuka hutan yang lahannya miring untuk bertani. Segera setelah hutan dibuka, lahan miring digunakan untuk bertani, air hujan yang turun mencucinya. Akibatnya, tragedi demi tragedi terjadi. Erosi tanah telah mengalahkan segalanya. Hutan hancur, tanah hancur, dan meninggalkan tanah yang mati-tak akan ada kehidupan baru.
Timgad, Kota yang Hilang. Timgad, yang nama sebelumnya adalah Thamugadi, merupakan kota peninggalan Kekaisaran Romawi di Afrika Utara. Kota ini dibangun oleh Trajan pada abad pertama masehi. Kota ini hancur dan terkubur sebagai akibat dari erosi tanah yang disebabkan oleh angin.
Masih banyak contoh dari peninggalan sejarah yang dapat dijadikan pelajaran. Tiga contoh di atas sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk kita menyadari bahwa kemarahan tanah dan air akan menghancurkan kita. Kemarahan tersebut, sekali lagi terjadi, akibat dari tiadanya kearifan dan kebijaksanaan yang dilakukan manusia terhadap alam. Hanya keserakahan dan ketidak-pedulian yang membimbing perbuatan kita.
Cinta Kehidupan
Cinta tanah-air adalah cinta kehidupan. Tanah-air memiliki jiwa dan rasa. Karena itu, perasaannya harus dijaga, agar tetap cinta kepada kita, manusia dan makhluk hidup lainnya. Petani dan pertanian adalah penyambung jiwa dan rasa itu. Petani yang arif dan bijaksana menjadi penentu kelanggengan kehidupan manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, melalui pertaniannya yang menjaga tanah-air dalam pelukannya.
Banjir di dataran rendah adalah akibat di dataran tinggi. Air permukaan yang mengalir memiliki energi yang dahsyat menyapu semua yang dilewatinya. Permukaan tanah digerus, terus menerus selama musim hujan dan ditumpahkan di daerah yang lebih rendah. Bendungan diisi dengan lumpur dan segala benda yang dibawah aliran air. Got tertutup tanah dan sampah. Aspal digerus hingga jalan-jalan menjadi berlubang dan akhirnya hancur. Kita tidak dapat mengendalikan banjir di dataran rendah tanpa memelihara bukti-bukit dan gunung-gunung. Kita harus melihat Daerah Aliran Sungai (DAS) secara utuh, apabila kita tidak ingin peradaban yang telah dibangun menjadi hancur.
Apabila kita meminta petani menjaga tanahnya agar tidak rusak karena erosi yang selain merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan peradaban secara keseluruhan, maka petani harus memiliki alternatif untuk mendapat kesempatan mencari sumber-sumber kehidupan yang lebih baik. Di sinilah terletak kebutuhan bersama antara DAS di bagian hulu dengan DAS di bagian hilir. Walau pun sifatnya aliran air terjadi searah, dari hulu ke hilir, tatanan kehidupan harusnya menyatu.
Batas-batas administratif pemerintahan tidak berarti kewajiban menjaga lingkungan hidup menjadi terpisah-pisah, walaupun kita tunduk pada Undang-undang Otonomi Daerah. Bahkan, otonomi daerah semestinya membuka ruang kreativitas dan inisiatif yang lebih besar untuk membangun sinergis antardaerah otonom. Hal ini hanya akan terjadi apabila kita, khususnya para pemimpin negara, cinta tanah-air, cinta kelanggengan kehidupan yang makin membaik.
Untuk Indonesia, kebutuhan akan cinta tanah-air dalam pengertian mengelola tanah dan air sekaligus, sangatlah diperlukan. Struktur geografis negara yang bercorak kepulauan dan terletak di daerah tropis, menuntut konservasi tanah dan air dan pemulihan fungsi-fungsi hidroorologis dari suatu DAS lebih ketat.
Apakah kota-kota di daerah pesisir Indonesia akan menjadi seperti "The Hundred Dead Cities"? Untuk terjadinya hal tersebut mungkin tidak memerlukan ribuan tahun, apalagi kalau dampak pemanasan global akan mempercepat naiknya permukaan laut. Dengan perkiraan jumlah penduduk Indonesia 270 juta lebih pada tahun 2020, dan dengan 13 lebih kota besar menghadapi ke Laut Jawa-3 di antaranya mega politan: Jakarta, Surabaya dan Medan, apabila kita tidak berhasil menerapkan praktek-praktek konservasi tanah dan air serta konservasi alam lainnya, maka Laut Jawa akan menjadi "comberan" terbesar di dunia. Sungai-sungai pun akan marah-menjadi sumber petaka. Peradaban kita menghadapi ancaman dari dua arah-kemarahan tanah-air di daratan dan kemarahan air dari laut.
Penulis adalah Ketua Badan Eksekutif GAPPERINDO
Last modified: 3/3/04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar