Agus Pakpahan
We believe the success or failure of the economy is not measured by how fast the stock market and economy grows. It’s really the extent to which the vast majority are seeing their living standards improve.
Paul Krugman, 2007
http://www.shareprosperity.org/av/070222
Tulisan ini disusun dengan maksud untuk menyampaikan pandangan bahwa sumber kesulitan kita dalam membangun ekonomi pertanian, perdesaan atau bahkan ekonomi nasional secara keseluruhan adalah betapa beratnya kita harus mengatasi beban yang diakibatkan oleh bekerjanya hukum uang. Yang dimaksud dengan hukum uang adalah bekerjanya formula bunga-berbunga (compounding interest rate) dari ciptaan manusia yang dinamakan uang. Formula ini menghasilkan model pertumbuhan yang sifatnya eksponensial, sebaliknya sektor riil biasanya bertumbuh mengikuti model logarithmik. Divergensi dari ke dua hukum inilah apabila makin melebar akan menyebabkan depresi ekonomi terjadi.
Sebagai ilustrasi, nilai satu dollar AS pada tingkat bunga 14 % akan menjadi lebih dari dua kalinya pada tahun ke enam, sedangkan apabila nilai bunganya 10 %, maka nilai tersebut akan menjadi lebih dari dua kalinya pada tahun ke 8. Sebaliknya dengan pertumbuhan sektor riil, bukan hanya nilainya relatif rendah tetapi juga bersifat kebalikannya dari sifat pertumbuhan nilai uang di atas. Hal terakhir ini disebabkan berlakunya the law of diminishing return dan berlakunya hukum entropy, masing-masing sebagai akibat dari adanya sifat faktor yang konstant (resource fixity) dan pencerai-beraian energi. Pandangan Krugman sebagaimana dikutip pada bagian awal tulisan ini mestinya mengingatkan kita semua tentang keberhasilan pembangunan ekonomi, yaitu kita harus lebih mendahulukan kemajuan taraf hidup masyarakat pada umumnya daripada ukuran indeks harga saham, misalnya.
Seluruh sektor riil akan terkena beban hukum compounding interest rate. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor riil yang memikul berat sebagai akibat dari compounding interest rate ini. Salah satu sebabnya dan ini sudah menjadi pengetahuan umum adalah bahwa pertumbuhan produksi sektor pertanian relative rendah dibandingkan dengan sektor industri atau jasa perdagangan, misalnya. Di samping itu, sektor pertanian merupakan sektor yang bersifat investasi jangka panjang dengan faktor resiko yang relatif mahal untuk mengatasinya. Khusus mengenai pangan (baca: padi), kegiatan di bidang ini termasuk kegiatan ekonomi yang relative intensif dikelola pemerintah, khususnya harga pangan tidak boleh tinggi relative terhadap daya beli masyarakat.
Jadi, kita menghadapi dua hal yang sifatnya bertentangan, yaitu kita menginginkan adanya kelimpahan pangan atau produk pertanian pada umumnya di satu pihak, tetapi di pihak lain kita berhadapan dengan kenyataan bahwa hukum uang terus menyedot kapital yang tersedia di pertanian dan perdesaan.
Dalam lingkup global kita menyaksikan bagaimana “mesin uang” ini sudah membuat dunia yang semakin timpang. Menurut Madison (1993) dalam “A. Maddison, 1993. Monitoring the World Economy, 1820-1992. OECD, Paris”, pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 1820 (menurut nilai dollar AS 1990) adalah US$ 614, sedangkan pendapatan India dan China pada waktu tersebut sekitar 531 dan 523 dollar Amerika. Bandingkan dengan pendapatan per kapita Inggris dan AS pada tahun tersebut masing-masing masih 1.756 dan 1.287 dollar AS. 180 tahun kemudian (tahun 2000), pendapatan per kapita Inggris dan Amerika Serikat meningkat masing-masing menjadi 25.120 dan 34.400 dollar Amerika. Pendapatan rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 2000 barulah mencapai kurang dari 1.000 dollar Amerika.
Kemiskinan dan kesenjangan antara sektor pertanian dan perdesaan dengan sektor non-pertanian dan perkotaan disebabkan oleh kuatnya hukum uang di atas.
Bagaimana mengatasi hal tersebut? Pertama kita harus perlunak kekuatan hukum uang tersebut dengan mentransformasikan sistem peroduksi pertanian yang tidak menggunakan modal dalam bentuk uang pada saat berproduksi, tetapi melakukan investasi input produksi seperti pupuk, benih atau air irigasi dalam bentuk fisik. Baru kemudian pasar (jual-beli) diberlakukan untuk produk setengah jadi atau produk jadinya, misalnya beras dalam kasus pertanian padi. Kita menerapkan prinsip value-added chain dalam bisnis pertanian dimana petani memiliki akses untuk mendapatkan bagian wajar dari nilai tambah tersebut. Dengan demikian petani tidak memerlukan dana segar (cash) baik berupa dana sendiri, karena mereka tidak memilikinya, maupun dana dari perbankan, untuk menghindari terjeratnya oleh hukum uang.
Kedua, sebagaimana yang berlaku di negara-negara yang pertaniannya maju, kita memerlukan adanya bank pertanian. Sebagai referensi, di RRC terdapat Agricultural Bank of China, di Thailand ada Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative dan di Afrika Selatan ada Land and Agricultural Development Bank. Fungsi utama dari bank ini yaitu selain membiayai investasi di bidang pertanian juga dimanfaatkan sebagai instrument redistribusi capital dari keuntungan yang diperolehnya sebagai upaya “pengembalian yang fair” karena bank telah menerapkan hukum uang dalam operasi usahanya.
Terjebak dalam mekanisme hukum uang hanya akan menciptakan situasi yang tidak dikehendaki sebagaimana Krugman sampaikan pada awal tulisan ini. Kita hidup di alam yang akan membuat kita sejahtera apabila kita bisa beradaptasi dengan hukum alam. Namun, hukum uang adalah ciptaan manusia yang bisa membuat alam kehidupan yang makin memiskinkan kita semua. Sektor pertanian sebagai sumbunya peradaban memerlukan pengobatan yang tepat dan pencegahan dari berlakunya hukum uang yang sifatnya eksploitatif. Apa yang disampaikan tidak berarti uang itu tidak diperlukan tetapi marilah menyerasikan hukum uang dan hukum alam sebagai upaya membangun peradaban yang lebih baik. Terjadinya depresi pertanian atau involusi pertanian adalah ibarat kita banyak uang tetapi tentu kita tidak bisa makan uang itu, apalagi uangnya bukan milik kita, tetapi mengalir ke dunia lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar