www.aguspakpahan.com

Minggu, 21 Februari 2010

Ekonomi-Politik Pertanian Bioteknologi

Kamis, 10 Maret 2005 11:46 WIB - wartaekonomi.com

Oleh: Agus Pakpahan

Pertanian tak pernah sepi dari isu ekonomi-politik--persenyawaan antara kepentingan ekonomi dan politik dan cara-cara mencapainya yang dilaksanakan dalam satu tarikan napas. Pada pra-Belanda, bangsa Portugis datang lebih dahulu dan menjajah Nusantara. Menurut sejarawan MC Ricklefs, dampak paling kekal dari penaklukan Malaka oleh Portugis adalah hancurnya jaringan (network) perdagangan di kawasan Asia.

Motivasi pertama penjelajahan dunia memang berdagang, sedangkan penjajahan adalah solusi politik. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan Belanda pada 1602 dengan motivasi ekonomi, tetapi implementasi politiknya adalah penjajahan. Keunggulan dalam kekuatan militer menjadi alat utamanya. Pada masa itu yang diburu adalah keuntungan dari pertanian, khususnya rempah-rempah dan tanaman industri.

Selama sekitar 400 tahun negara-negara temperate (beriklim sedang) membangun industri yang berbasis pada komoditas pertanian dari daerah tropis. Pada saat yang bersamaan, negara-negara tersebut membangun pertaniannya sehingga mampu menghasilkan surplus yang dapat mengisi pasar dunia. Hasilnya, industri cokelat, ban, kopi, dan lain-lain, yang mengolah hasil pertanian, berkembang pesat di negara-negara temperate. Demikian juga produksi jagung, gandum, kedelai, dan tanaman pangan lainnya yang melebihi kebutuhan domestik, semuanya kemudian mengalir mengisi pasar dunia dan menjadi sumber ekonomi-politik penting bagi negara-negara tersebut.

Sebagai ilustrasi, AS memproduksi sekitar 42,8% kedelai dunia pada 2001/2002 dengan volume 78,67 juta ton. Bandingkan dengan Indonesia pada 2001 yang hanya menghasilkan 0,82 juta ton kedelai. Kalau dibandingkan produktivitasnya, AS menghasilkan 2,66 ton kedelai per hektar, sedangkan Indonesia hanya 1,2 ton per hektar, atau cuma 45%-nya.

Jadi, negara-negara temperate bukan hanya maju dalam industri dan militer, tetapi juga pertanian. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa ketersediaan pangan dunia menjadi terjamin karena kelebihan produksi pangan di negara-negara maju. Mengapa demikian? Inti di balik itu semua adalah bahwa ekonomi-politik yang berkembang di negara-negara di daerah temperate tersebut sangat mendukung pertaniannya.

Dewasa ini berkembang pertanian berbasis bioteknologi (biotech agriculture). Di sini yang dibicarakan bukan komoditasnya, semisal kedelai, tetapi teknologi yang menciptakan karakter kedelai seperti apa yang diinginkan. Pertanian biotek ini sebagian besar merupakan output perusahaan raksasa. USDA menyebutkan bahwa sejak 1976-2000 jumlah paten biotek telah mencapai 11.073 unit. Sepuluh institusi (termasuk anak-anak perusahaannya) penerima paten terbanyak dalam bidang biotek di AS adalah Monsanto Co., Inc. (674 unit), Du Pont, E.I. De Nemours and Co. (565 unit), Pioneer Hi-Bred International, Inc. (449 unit), USDA (315 unit), Syngenta (284 unit), Novartis AG (230 unit), University of California (221 unit), BASF AG (217 unit), Dow Chemical Co. (214 unit), dan Hoechst Japan Ltd. (207 unit).

Sebagai ilustrasi mengenai kekuatan ekonomi pemegang paten tersebut adalah Pioneer dan Monsanto, masing-masing memperoleh pendapatan dari hasil penjualan benih sebesar US$2 miliar dan US$1,6 miliar pada 2002. Ini baru dari benih tanaman biotek!

Posisi perusahaan multinasional ini sangatlah besar. Bahkan dari 100 urutan institusi terkaya dunia (termasuk negara), terdapat 51 perusahaan multinasional. Jadi, banyak perusahaan multinasional yang lebih kaya daripada sebuah negara. Contohnya, pada 2002 Wal-Mart menempati peringkat ke-19 dengan pendapatan US$246.525 juta, sementara PDB Swedia US$229.772 juta.

Dalam bidang pangan, kita menyaksikan bagaimana perusahaan multinasional seperti Philip Morris, Cargill, dan Nestle masing-masing memperoleh pendapatan US$53,2 miliar, US$50 miliar, dan US$40,2 miliar. Bandingkan dengan ekspor seluruh komoditas perkebunan Indonesia yang hanya US$5 miliar per tahun.

Dewasa ini luas areal pertanian biotek dunia sudah mencapai lebih dari 80 juta hektar. Induk dari pertanian biotek ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai luas areal 80 juta hektar pertanian biotek ini tidaklah lama, yaitu hanya sekitar 10 tahun, mulai 1995. Tanaman biotek sudah menyebar ke seluruh belahan bumi. Di Asia, negara terluas pengguna tanaman biotek adalah Cina, kemudian India dan Filipina, dan Afrika Selatan sebagai satu-satunya negara pertanian biotek di Afrika dengan luas tanaman sekitar 0,5 juta hektar. Secara keseluruhan, tanaman biotek terluas diusahakan di AS (59%), Argentina (20%), Kanada (7%), dan Brasil (6%). Tanaman utama yang dikembangkan dengan teknologi biotek adalah kedelai, jagung, kapas, dan kanola.

Perkembangan situasi ini memberikan pengaruh nyata terhadap konstelasi ekonomi-politik dunia pada waktu mendatang. Pemusatan kekuatan ekonomi dunia pada perusahaan multinasional dalam bidang inti kehidupan merupakan hal yang perlu segera dicari alternatifnya untuk mengantisipasi dampak buruknya. Ini mengingat budaya perusahaan bukanlah budaya demokrasi, melainkan mencari untung sebesar-besarnya. Dominasi budaya ini akan berdampak nyata bagi kehidupan dan tingkat peradaban dunia mendatang. Sekarang saja, negara-negara berkembang sudah dirugikan oleh sistem perdagangan dunia yang tidak fair, khususnya dalam hal perdagangan komoditas pertanian.

Salah satu pelajaran utama dalam kasus pertanian biotek, dalam rangka mencari jalan keluarnya, adalah melihat perkembangan Uni Eropa yang hingga sekarang belum mengembangkan pertanian biotek secara besar-besaran. Bahkan, negara-negara Eropa mencoba melihat alternatif atau sudut pandang lain dalam hal kasus pertanian biotek ini. Di sisi lain, perlu dilihat juga Brasil, Argentina, dan negara-negara lain yang mengikuti jejak AS. Demikian pula Cina, India, Filipina, dan yang belakangan ini cukup nyata dalam mengembangkan pertanian bioteknya.

Hampir setiap perkembangan teknologi memang tak dapat dikendalikan dengan cara melarang atau membatasinya melalui penerapan hukum. Keberadaan peraturan perundang-undangan memang diperlukan, tetapi, di atas itu, diperlukan tumbuhnya nilai, etika, atau moralitas baru yang mampu membimbing agar ekses dari suatu penerapan teknologi dapat diminimalkan atau bahkan dicegah. Hal tersebut tak hanya berlaku untuk aspek lingkungan hidup, tetapi bagi segala sendi kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun mendatang. Indonesia, sebagai negara ke-4 terbesar penduduknya, perlu proaktif mencari formula tatanan ekonomi-politik pertanian biotek dunia yang bersahabat dengan keadaan atau kondisi negara-negara berkembang.

Angin perubahan besar sedang bertiup kencang ke Indonesia, ke arah negara-negara tropis-tertinggal. Perubahan besar tersebut sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada 400 tahun yang lalu. Di balik teknologi yang dikembangkan di laboratorium-laboratorium itu, tiupan angin kencang yang mengarah ke kita diatur oleh sistem ekonomi-politik yang diciptakan dunia dengan kecepatan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, booming kelapa sawit di Indonesia memerlukan waktu lebih dari 100 tahun; sedangkan booming pertanian biotek kurang dari 10 tahun. Perkembangan yang sangat cepat, mungkin lebih cepat daripada kemampuan kita berpikir!

Siapkah kita memanfaatkan secara positif perubahan besar tersebut, ataukah hanya akan kembali menjadi korban perubahan besar?

Penulis adalah ketua Badan Eksektutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) dan penulis buku Petani Menggugat (2004).

Pemikiran untuk Kasus Perkebunan

MENGGERAKKAN PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH DAN PEREKONOMIAN RAKYAT:
Pemikiran untuk Kasus Perkebunan1

Oleh:
Agus Pakpahan

I.Pendahuluan

Dalam perkembangan sejarahnya kegiatan perkebunan merupakan respon terhadap insentif yang tercipta dari perdagangan dunia, yaitu permintaan yang berkembang di pasar dunia, jauh sebelum bangsa Eropa datang di kepulauan Nusantara. Perkebunan kelapa dan tebu, sebagaimana digambarkan dalam mitologi India, telah dikenal di wilayah Nusantara ini sejak tahun 75 Masehi. Sedangkan tanaman perkebunan seperti karet, teh, kopi, kakao, kelapa sawit, yang bukan tanaman asli wilayah ini, baru dikenal belakangan, yaitu pada. abad ke XIX, bersamaan dengan ekspedisi bangsa Eropa. Tanaman karet paling tua ditemukan di Subang, yang ditanam pada tahun 1862. Tanaman teh mulai dikembangkan tahun 1824, kelapa sawit tahun 1848, dan kina pada tahun 1855. Tanaman kakao sebenarnya sudah dibawa oleh bangsa Spanyol ke Indonesia melalui Filipina tahun 1560 dan kopi tahun 1616, tetapi pertanaman ini hancur terserang penyakit karat daun pada tahun 1878. Secara umurn, perkebunan di Indonesia merupakan kegiatan. ekonomi yang telah berusia lebih dari 400 tahun.

Sejarah perkebunan juga telah mewariskan tatanan organisasi sosial kemasyarakatan yang relatif khas. Kita dapat membaca sejarah tentang Tanam Paksa dengan segala dampaknya. Dari sejarah kita juga mengetahui bagaimana VOC tumbuh, mengakar tetapi kemudian bangkrut pada tahun 1799, dan kemudian memunculkan peran Pemerintah Hindia Belanda dalam usaha perkebunan. Hal ini kemudian menjadi cikal¬bakal BUMN perkebunan pasca kemerdekaan sebagaimana yang dikenal sekarang dengan nama PTP Nusantara I-XIV.

Selain BUMN perkebunan, juga berkembang usaha perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta nasional. Luas areal perkebunan berkembang dari 5 juta hektar pada tahun 1968 rnenjadi 14,2 juta hektar pada tahun 1998. Dari luasan tersebut, areal perkebunan rakyat mencapai sekitar 11 juta hktar, perkebunan milik BUMN sekitar 1 juta hektar dan 2.2 juta hektar perkebunan besar swasta. Perkebunan besar ini terkonsentrasi pada budidaya kelapa sawit 1.89 juta hektar, karet 0.52 juta hektar, kakao 0.15 juta hektar, tebu 0.14 juta hektar, kopi: 65 ribu .hektar, dan kelapa 0.12 juta hektar. Tampak bahwa dari setengahnya areal perkebunan besar merupakan perkebunan kelapa sawit. Berbeda dengan perkebunan besar, komoditas yang diusahakan perkebunan rakyat yang paling luas adalah kelapa dan karet.

Tujuan utama dari tulisan ini adalah mencoba memperjelas posisi perkebunan khususnya, dan perkebunan dan kehutanan umumnya, dalam peningkatan ekonomi rakyat yang sekaligus pula menjawab persoalan-persoalan nasional. Kaitan perkebunan dengan otonomi daerah juga dibahas. Dengan memandang otonomi sebagai perubahan institusi yang mengendalikan sumberdaya, maka kesimpulan utama dari tulisan ini adalah otonomi itu perlu diletakkan dalam kerangka network dan interaktif baik antar daerah otonom maupun antardaerah dengan nasional, dengan fokus utama memberikan pelayanan publik kepada rakyat baik sebagai warga negara maupun sebagai pelaku dalam bidangnya masing-masing. Khusus mengenai perkebunan, perkebunan perlu dipandang sebagai kekuatan ekonomi yang bukan hanya dipandang dari sudut lokal tetapi juga nasional dan global, mulai dari industri primer hingga industri hilirnya. Pada kegiatan on farm keseimbangan ekonomi-ekologi-sosial budaya merupakan aspek yang sangat penting dan peran pekebun dengan organisasi ekonominya merupakan pelaku utamanya. Perusahaan besar khususnya sangat penting dalam memperkuat industri tengah dan hilir yang juga didisain terkait erat dengan kegiatan industri hulu. Oleh karena itu, visi pembangunan perkebunan bukan hanya membangun kebun secara fisik tetapi membangun manusia dan masyarakat perkebunan melalui berbagai usaha komoditas perkebunan.

II. Kondisi Indonesia Kini dan. Peluang Kontribusi Perkebunan

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia selarna 30 tahun terakhir ternyata telah membawa bangsa Indonesia pada permasalahan-permasalahan yang menuntut perubahan¬-perubahan yang relatif fundamental dalam hampir segala sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hal yang dimaksud di antaranya:

1.Kita masih menjadi bangsa yang miskin, balk secara relatif maupun absolut; dan tertinggal dengan segala kelemahannya; Tetapi pada saat yang bersamaan kita merupakan bangsa yang memiliki hutang luar negeri yang sangat besar;

2.Krisis ekonomi yang terjadi telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga ekonomi nasional sehingga masih diperlukan proses pemulihan yang mungkin mernerlukan waktu yang relatif lama;

3.Kepercayaan pasar (internasional) terhadap kita juga belum pulih sehingga investor masih "wait and see"; di pihak lain akumulasi kapital yang selama ini dihasilkan dari proses ekonomi juga banyak yang lari ke luar;

4.Jumlah penduduk kita jauh lebih besar daripada pada saat Indonesia baru merdeka, bahkan saat ini Indonesia merupakan negara nomor empat terbesar apabila dilihat dari jumlah penduduk. Pada tahun 2020 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 260 juta jiwa. 20 tahun bukanlah waktu yang panjang untuk memecahkan persoalan bangsa kita. Implikasi yang paling mudah dilihat adalah kebutuhan akan pangan, permukiman dan lapangan pekerjaan akan demikian besar;

5.Kesenjangan antargolongan, antardaerah, antarsektor yang lebar di penghujung akhir abad ini juga merupakan kondisi yang menjadi sumber permasalahan pelik yang harus segera diselesaikan;

6.Struktur ekonomi yang kita miliki sekarang juga tidak sekokoh yang kila bayangkan dahulu. Sebagian besar penduduk yang masih tergantung pada pertanian dan perdesaan menggambarkan transformasi ekonomi yang kita lakukan Selama ini hasilnya adalah transformasi semu, mengingat struktur dasar ekonomi tidak banyak berubah;

7.Jawa dan luar Jawa masih menjadi paradoks dimana Jawa merupakan salah satu wilayah di dunia yang kepadatan penduduknya tinggi sekali, tetapi sebagai penghasil pangan utama; sedangkan luar Jawa walaupun penduduknya berkembang, tetapi tidak sepadat Jawa;

8.Sumberdaya alam dan lingkungan hidup kita baik yang Iberada di darat maupun yang berada di laut banyak yang kondisinya sudah rusak. Artinya adalah posisi kita untuk memperoleh manfaat dari keberadaan sumberdaya alam menjadi semakin terbatas karena trade-off untuk kepentingan jangka pendek dan jangka panjang demikian besar;

9.kehidupan masyarakat dunia dewasa ini dan tentunya ke depan akan makin mengarah pada suatu pola kehidupan yang makin kompetitif, liberal dan mengglobal. Pola kehidupan ini tentunya menuntut kita untuk mampu meningkatkan daya saing atau pengaruh dalam masyarakat international;

10.Kultur dalam masyarakat kita selama ini terganggu oleh perilaku sebagai akibat berkembangnya nilai yang selarna ini dinamakan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Akibatnya kapabilitas individu dan masyarakat Indonesia melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perkembangan zaman terhambat, mengingat daya inovasi dan daya adaptasinya terhambat oleh iklim tersebut.

Bagaimana kaitan potensi perkebunan dan kehutanan dengan ke sepuluh hal di atas ? Tentunya sangatlah erat mengingat peran perkebunan dan kehutanan berkaitan dengan hampir ke sepuluh hal tersebut, misalnya:

1.Peran perkebunan khususnya terhadap kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat sangatlah besar. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan sekitar 4 juta orang di perkebunan besar (termasuk pegawai tetap, harian dan musiman) dan 13 juta orang pada perkebunan rakyat. Hal ini akan meningkat apabila investasi dalam pengolahan hasil perkebunan dan industri pendukungnya berkembang.

2.Peran perkebuna terhadap pendapatat masyarakat juga cukup nyata. Kita menyaksikan bagaimana Malaysia perekonomiannya bisa bergantung pada kelapa sawit.

3.Hampir seluruh komoditas perkebunan pasarnya adalah pasar ekspor. Artinya perkebunan sebagai penghasil devisa negara. Hal ini telah berlangsung lama, yang diperlukan adalah peningkatan kinerjanya, termasuk pengembangan produk yang akan diekspor. Hal ini sangat penting pula dalam kaitannya dengan pembayaran utang luar negeri.

4.Basis perkebunan pada dasarnya adalah ekonomi rakyat. 78 % areal perkebunan rakyat yang luasnya sekitar 11. juta hektar memiliki arti tersendiri dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis perkebunan ini tentunya akan terkait dengan kemampuan kita menyelesaikan daerah-daerah terisolir dan masyarakat miskin di sekitar kebun dan hutan. Artinya adalah pemberdayaan perkebunan rakyat juga

merupakan program pertumbuhan melalui pemerataan baik antargolongan, antardaerah maupun antarsektor. Orientasinya adalah peningkatan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah sebagai basis peningkatan kesej ahteraan Para pekebun dan keluarganya.

5.Pengembangan perkebunan memiliki kontribusi yang kuat terhadap transformasi ekonomi Indonesia. Perkebunan merupakan salah satu contoh kegiatan perekonomian yang secara lengkap, mulai dari yang paling hulu yaitu penciptaan bibit unggul dan desain wilayah, hingga paling hilir yaitu ekspor (pasar), telah terbina. Yang masih lemah adalah dalam hal pengolahan atau dalam hal industri penunjangnya. Dengan demikian, apabila kita sepakat bahwa basis perekonomian kita, minimal untuk 20-30 tahun ke depan adalah agroindustri, maka perkebunan merupakan kegiatan ekonomi sektor rill yang siap merespon kebijaksanaan dan strategi tersebut. Dengan pola ini kita akan terhindar dari transformasi semua.

6.Persoalan kerusakan sumberdaya hutan hanya dapat diatasi melalui peningkatan supply produk-produk hutan seperti kayu. Defisit kayu yang tampak membesar terus merupakan gambaran yang jelas bahwa kesenjangan antara permintaan dan penawaran makin melebar. Hal ini berarti bahwa ketergantungan akan hutan alam tidak dapat dilanjutkan. Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar adalah menanam berbagai jenis pohon yang selain kayunya baik, tidak merusak lingkungan, juga bernilai tinggi serta memiliki dampak sinergis yang kuat dengan sector Sejalan dengan pandangan ini, perkebunan dan hutan tanaman. harus menjadi satu kesatuan perencanaan, pengelolaan dan evaluasi apabila kita, menghendaki terjalinnya suasana sinergis. Sebagai contoh, dengan ditemukannya klon karet series IR 200 yang selain lateksnya baik juga kayunya, baik. Oleh karena itu, menanam karet tidak sekedar untuk menghasilkan getah tetapi juga untuk menghasilkan kayu. Yang tidak kalah penting ya dengan karet ini juga kemampuannya y ng tinggi menyerap gas-gas rumah kaca. Mengingat sebagian besar karet ini milik pekebun, maka karet sangat besar potensinya untuk memberdayakan ekonorni rakyat dan sekaligus pula menciptakan lingkungan yang lebih baik.

7.Redesain perkebunan, khususnya dari monokultur ke diversifikasi jenis, bukan hanya akan mengurangi resiko pekebun tetapi juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi pekebun, khususnya ketahanan pangan apabila tanarnan selanya merupakan tanaman pangan. Desain ini selain rnenjawab permasalahan kebutuhan pangan, juga menyumbang penyelesaian terhadap isu lingkungan hidup khususnya biodiversitas.
8.Sebagaimana telah dikemukakan, masyarakat perkebunan memiliki kultur yang selama ini sudah berinteraksi dengan ekspor. Kultur ini tentunya merupakan asset social (social capital) yang sangat penting dalam mengembangkan perekonomian masa mendatang. Dengan demikian, perkebunan dapat dijadikan sebagai barisan di depan dalam berinteraksi dengan pasar internasional.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa perkebunan merupakan industry (industri primer dengan tanaman dan kebun sebagai pabrik industry sekunder yang
menghasilkan, misalnya produk oleochemical dari kelapa dan kelapa sawit (downstream industries) dan industri pendukungnya) memiliki kriteria yang bukan hanya memenuhi syarat untuk meningkatkan ekonomi rakyat, juga lebih jauh dari itu yaitu: meningkatkan penghasilan devisa yang penting untuk membayar hutang dan mengatasi masalah lingkungan hidup dan kerusakan sumber daya alarm, khususnya hutan.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat merealisasikan potensi tersebut?

III. Institusi Ekonomi dan Otonomi Daerah

Sebelum kita membahas perkebunan dalam hubungannya dengan otonomi daerah, terlebih dahulu disampaikan pemikiran mengenai institusi ekonomi dan otonomi pemerintahan itu sendiri; dalam hal ini otonomi daerah.

Institusi ekonomi yang terpenting adalah pasar. Pasar ini sebenarnya merupakan organisasi yang menyeimbangkan antara penawaran dan permintaan melalui harga sebagai instrumen komandonya. Unit interaksinya adalah transaksi. Jadi pasar tidak pernah berbicara satu pihak, melainkan selalu berbicara antara a dan ß terhadap sesuatu, misalnya tanah atau teknologi. Transaksi antara a dan ß dilandasi oleh hak kepemilikan (property rights), yang mana ini merupakan produk hokum ekonomi masyarakat (negara). Dengan demikian yang ditransaksikan adalah bukan barangnya secara fisik, tetapi hak kepemilikannya itu. Misalnya, sebidang tanah tidak berpindah-pindah tetapi sertifikat kepemilikannya bisa berpindah dari a ke ß. Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa property rights, khususnya ownership, tidak dapat mengendalikan sumber interdependensi antara a dan 13 di luar konteks yang sifatnya inkompatibilitas (incompatibility). Mengingat pasar ini landasannya property rights, maka aspek selain inkompatibilitas tidak dapat dikendalikan oleh pasar. Hal yang dimaksud adalah (1) ongkos transaksi atau ongkos eksklusi yang tinggi (2) eksternalitas, (3) join Impact good, yaitu kondisi dimana utilitas marginal bagi penambahan user sama dengan nol, (4) tingginya resiko dan ketidakpastian, (5) economies of size, dan (6)free rider. Agar pasar dapat bekerja maka diperlukan inovasi teknologi atau organisasi atau pengembangan budaya baru yang kompatibel dengan kebutuhan untuk menangani aspek-aspek di atas.

Pelaku ekonomi pada dasarnya secara alamiah ingin membangun kekuatannya di pasar. Struktur yang mencerminkan kekuatan pelaku ekonomi dalam melakukan intervensi harga atau hal lain di pasar berkaitan dengan apakah struktur industrinya kompetitif atau tidak. Struktur pasar monopoli jelas akan menyebabkan alokasi sumber Jaya tidak efisien. Sebaliknya pasar yang sangat kompetitif dalam arti tidak ada seorangpun di pasar yang keputusannya mampu mempengaruhi harga pasar, juga hanya ada dalam konteks parsial, khususnya berlaku pada komoditas perkebunan pada tingkat pekebun. Oleh karena itu transmisi harga dari pasar internasional ke pekebun sering terdistorsi oleh struktur pasar yang sifatnya monopolistik atau ologopolistik pada level perdagangan.

Dalam usaha perkebunan telah berkembang organisasi-organisasi yang dapat dikatakan merupakan organisasi yang dapat mempengaruhi pasar, minimal pasar dalam negeri. GAPKI, AEKI, dan organisasi perkebunan sejenisnya dapat mempunyai kekuatan untuk menetapkan harga bell komoditas perkebunan pada tingkat petani. Bahkan kelompok pengusaha besar yang meguasai asset perkebunan yang sangat luas dapat membangun "kartel" yang, mampu menetapkan harga. Organisasi ini juga dijumpai pada tingkat internasional seperi International Sugar Organization (ISO).

Yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa perkebunan tidak dapat dipandang secara parsial dalam kaitannya dengan kontribusinya terhadap ekonomi, misalnya ekonomi lokal. Hal ini sangat penting mengingat kontribusinya terhadap ekonomi daerah juga tergantung dari kondisi ekonomi global. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan pokok adalah bagaimana membangun institusi ekonorni yang mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat balk secara keseluruhan maupun masyarakat pekebun pada khususnya yang konsisten dengan shat ekonomi perkebunan ini.

Otonomi daerah merupakan konstruksi institusi yang sebetulnya pararel dengan institusi ekonomi sebagaimana diuraikan tadi. Walaupun a adalah individu yang otonom, namun ia tidak terlepas dari ß. Jadi, seperti halnya dalam ekonomi, konteks otonomi juga adalah kemandirian dalam konteks interdependensi. Hal ini sangat penting untuk dicatat mengingat tidak mungkin kita membangun kesejahteraan rakyat melalui otonomi dalam pengertian yang sempit, yaitu kita merupakan dimensi interdependensi dengan daerah lain.

Sebagaimana halnya dalam ekonomi yang mana basisnya adalah pasar dan pasar akhirnya akan bermuara pada efisiensi, maka otonomi daerah basisnya adalah demokrasi. Dengan institusi demokrasi, eksistensi sebagai manusia terjaga dan terbangun, demikian pula dengan partisipasi politik, termasuk dalam ekonorni politik dan politik ekonomi. Namun demikian, tidak berarti dengan demokrasi dan otonomi itu, bangsa Indonesia menjadi terpecah karena masing-masing daerah otonom hanya melihat kearah dan dalam dirinya sendiri, tanpa melihat keluar dan daerah lainnya. Yang harus terjadi adalah hal yang sebaliknya.

Sebagaimana hal nya dalam ekonomi pasar dimana kepemilikan tidak dapat mengendalikan faktor-faktor sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam otonomi daerah pun, keenam faktor di atas pengendaliannya tergantung dari batas-batas yurisdiksi, property rights dan aturan representasi yang dikandung olelh otonomi tersebut. Lalu lintas teknologi atau harga pasar internasional jelas tidak dapat dikontrol melalui otonomi daerah, atau bahkan tidak dapat dikontrol secara penuh oleh institusi nasional sekaliptin. Tetapi aspek over produksi atau sarana clan prasarana pemasaran kemampuan pengendaliannya dapat meningkat apabila batas yurisdiksi pengendalian meningkat dari daerah kabupaten ke propinsi atau nasional.

IV. Aplikasi: Perkebunan

A. Interaktif Positif

Sebelum kita mendiskusikan hal-hal yang teknis sifatnya, ada baiknya kita melihat konteks perkebunan dalam ruang interaksi multidimensi. Sebagaimana telah dikemukan di atas, insentif membangun perkebunan datangnya dari perdagangan internasional. Nilai ekspor komoditas perkebunan pada tahun 1997 mencapai US$ 5,23 milyar turun menjadi US$ 4,13 milyar pada tahun 1998. Dengan melihat pasar global sebagai konteks utama perkebunan maka maju-mundurnya perkebunan di tanah air akan tergantung dari daya saing komoditas perkebunan kita dengan negara-negara lain penghasil komoditas yang sama atau yang memiliki daya substitusi kuat dengan produk yang kita hasilkan. Dalam konteks global ini; kita tidak dapat terlepas dari tradisi dan peraturan perundangan yang berlaku secara internasional, seperti WTO.

Dalam artian ruang yang lebih sempit kita pun harus mempertimbangkan konteks nasional. Dalam anti ini Pusat dan Daerah lebih tepat tidak dibuat sebagai dua pihak yang saling berhadapan, apa lagi sebagai dua pihak yang konflik. Sebaliknya kita harus melihat dua "entity" ini sebagai pihak yang interaktif yang memperkuat posisi perkebunan secara keseluruhan dalam menghadapi pasar global. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana membangun proses interaktif tersebut agar daya saing perkebunan terus meningkat.

Konteks lokal merupakan landasan untuk membangun local competitive advantage atau comparative advantage. Disamping local resource endowment dalam bentuk sumber daya alam yang beragam antarwilayah, juga tidak kalah pentingnya adalah social capital. Mengingat perkebunan merupakan investasi jangka panjang, maka kesejahteraan (masyarakat) dan keberlanjutan usaha perkebunan akan sangat tergantung pada sampai sejauhmana manfaat dari perkebunan ini dinikmati oleh pekebun dan masyarakat di sekitar perkebunan pada umumnya. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka usaha perkebunan akan mendapat kendala berat sebagai akibat dari struktur social yang berkembang.

Apabila kita belajar dari sejarah Amerika Serikat atau Eropa, kita menyaksikan bahwa walaupun otonorni daerah tumbuh dan berkembang, organisasi yang melampaui batas-batas negara juga menjadi pemersatu kebijaksanaan otonomi mereka, misalnya Uni Eropa. Tentu saja hal seperti ini perlu kita jadikan bahan pelajaran dalam menata hubungan Dunia Global Pusat Daerah secara interaktif-positif.

B. Sumber Saling Ketergantungan Interaktif Pusat-Daerah

Dalam menghadapi pasar global, sumber saling ketergantungan Pusat-Daerah pada dasarnya adalah saling ketergantungan bangsa Indonesia secara keseluruhan terhadap manfaat/kerugian bersama apabila kita menang/kalah di pasar internasional. Kelemahan Pusat dan demikian pula kelemahan Daerah akan berdampak negatif

terhadap kehidupan kita sebagai bangsa. Karena itu, keduanya hares kuat dan saling memperkuat. Pertanyaannya adalah apa yang hams dimainkan oleh Pusat dan apa yang hams dimainkan oleh Daerah, sehingga terjadi sinergis keterkaitan dan hubungan keduanya.

Pasar yang dihadapi sama. Pasar yang dihadapi oleh produk-produk perkebunan Indonesia adalah sama, yaitu pasar intemasional. Memang karet yang dihasilkan Kalimantan Barat boleh saja bersaing, dengan karet yang dihasilkan oleh Riau. Tetapi persaingan ini artinya membuka peluang pembeli di pasar intemasional untuk menekan harga karet alam kita. Akan lebih baik apabila sumberdaya yang tersedia di kedua propinsi tersebut digunakan untuk menghasilkan produk yang memang merupakan keunggulan kompetitif dari masing-masing, wilayah. Artinya, lebih baik kita bersaing. dengan Thailand, misalnya, daripada kita bersaing sesama kita di pasar intemasional. Hal ini pula menuntut pengembangan network sebagai wadah pengembangan aliansi strategis di antara kita.

Over investasi dan over produksi. Motivasi untuk meningkatkan keuntungan daerah masing-masing melalui produk yang sama akan menggerakkan perilaku yang berlomba. Akibatnya, akan menimbulkan overinvestasi yang pada gilirannya akan menyebabkan overproduksi. Apabila hal ini terjadi maka harga akan anjlok. Untuk mengkoreksi hal ini tidak mudah, bahkan jauh lebih sulit daripada mengkoreksi underinvestasi. Hal ini akan makin parah dampaknya apabila overinvestasi tersebut terjadi juga dalam skala dunia. Sebagai contoh, yang kita hadapi dengan gala saat ini adalah fenomena overproduksi dunia sehingga negara-negara produsen utama dalam ISO pada sidang tahun lalu di Belgia sepakat untuk mengurangi produksinya.

R&D. Kemajuan perkebunan sangat tergantung pada iptek. Kemajuan teknologi yang begitu cepat dalam bidang produksi biologi menandakan bahwa iptek selain sumber kemajuan juga dapat menjadi malapetaka bagi yang tidak menguasainya. Untuk dapat rnenguasai iptek, bukanlah pekerjaan yang sederhana. Bahkan belajar dari sejarah peradaban manusia kita menyaksikan suatu bangsa yang tadinya maju, kemudian menjadi bangsa yang tertinggal atau bahkan punah. Kemajuan teknologi yang terjadi di negara lain merupakan potensi kemajuan tetapi sekaligus pula potensi kehancuran. Untuk menghindari kehancuran kita tidak dapat rnenghadapinya sendiri-sendiri, tetapi kita perlu mengembangkan kemampuan dan kekuatan bersarna yang dapat saling mengisi dan saling memperkuat melalui suatu networking. Kita perlu sharing knowledge, resources dan komitmen untuk tumbuh, kuat dan berkernbang bersarna.

Resiko dan Ketidak Pastian. Resiko dan ketidak pastian merupakan fenomena sosial-ekonomi yang cukup tinggi dalam dunia perkebunan. Resiko dan ketidak pastian ini bersumber dari alam dan pasar. Yang bersumber dari alam misalnya kekeringan, kebakaran, hama penyakit dan hal lain yang serupa. Resiko dan ketidak pastian pasar bersumber dari berbagai antara situasi di negara lain. Akan sangat apabila resiko dan ketidakpastian tersebut dipikul sendiri.

Kita dapat membuat daftar sumber saling ketergantungan lebih panjang lagi Untuk keperluan diskusi, kiranya hal-hal yang dikemukakan di atas sudah cukup memadai.

C. BUMN Perkebunan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Pelaku ekonomi dalam usaha perkebunan dapat dikelompokkan kedalam pelaku ekonomi yang langsung melakukan kegiatan ekonomi baik dalam kegiatan hulu, tengah maupun hilir dalam system perkebunan sebagaimana diuraikan di atas. Kelompok berikutnya adalah pelaku ekonomi. yang sifatnya merupakan pendukung kelangsungan usaha perkebunan seperti perbankan.

Sebagaimana telah diuraikan, apabila diukur oleh luas areal dan ragam komoditas usaha perkebunan yang dilakukan, data tahun 1998 menunjukkan bahwa petani merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam usaha perkebunan di bagian hulu, yaitu menduduki sekitar 78 % dari luas areal perkebunan. Adapun usaha swasta dan BUMN perkebunan masing-masing menguasai 15 % dan 7 % dari total luas areal. Hal ini menunjukkan bahwa porsi luas areal yang dikuasai oleh BUMN perkebunan merupakan porsi terkecil, bahkan lebih kecil dibandingkan luas areal perkebunan yang dikuasai oleh swasta. Hal ini perlu dikemukakan mengingat apabila kita berbicara mengenai perkebunan rnaka pelaku yang utama terkesan adalah perusahaan perkebunan milk negara.

Namun dernikian, walaupun dipandang dan luas areal paling kecil, BUMN perkebunan mewarisi tradisi, teknologi, manajemen dan jaring pemasaran yang sudah tertata. Jadi, keputusan politik yang perlu diambil adalah apa peran dan fungsi utama BUMN perkebunan pada masa mendatang apabila GBHN 1999 mengamanahkan bahwa kita harus memberdayakan ekonomi rakyat ? Apakah BUMN perkebunan ditugaskan untuk menghasilkan devisa dan memberikan penerimaan terhadap negara sebanyak-banyaknya atau ditugaskan untuk urusan langsung memberdayakan ekonomi rakyat ? Saya melihat bahwa keberadaan BUMN perkebunan sangat strategis khususnya dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Hal ini sangat penting untuk dikemukakan mengingat argumen yang lebih baik daripada pemberdayaan ekonomi rakyat sulit untuk dipertahankan. Misalnya dalam hal penghasil devisa, pada masa yang akan datang ini lebih utama sebagai fungsi masyarakat (pekebun) dan usaha swasta.

Dengan pola pikir di atas produktivitas perkebunan rakyat perlu ditingkatkan. Bahkan, perkebunan rakyat harus menjadi tulang-punggung usaha perkebunan primer. Hal ini didukung oleh pengalaman Thailand dengan strateginya yang lebih banyak berlandaskan pada pertanian rakyat. Kecuali produk perkebunan yang memiliki kekhasan dan pasarnya menuntut persyaratan yang juga sulit dipenuhi oleh pekebun, usaha perkebunan besar terrnasuk BUMN perlu didorong pada usaha pengolahan yang menjadi bagian terlemah dalam sistem perkebunan kita. Disamping usaha perkebunan kita juga perlu mengembangkan usaha pendukung perkebunan yang memilki strategis untuk berkembangnya sistem perkebunan di atas. Di antaranya adalah mengembangkan usaha di bidang R&D, pendidikan dan pelatihan perkebunan, dan lembaga keuangan perkebunan. BUMN perkebunan dapat mengembangkan usaha di bidang ini.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kita perlu meningkatkan produktivitas dalam keseluruhan sistem perkebunan dengan mengembangkan spesialisasi dimana usaha farming dilakukan oleh pekebun atau koperasi perkebunan, dan BUMN serta usaha besar perkebunan lainnya bergeser ke usaha agroindustri dan usaha pendukung strategisnya. Mengingat nilai tambah ada di tengah dan hilir, maka petani juga harus memiliki akses dalam bentuk kepemilikan terhadap badan usaha yang, berada di tengah dan hilir. Proses transformasi ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 20 tahun.

V. Peran Pemerintah dalam Era Otonomi

Era perekonomian dunia pada masa mendatang, era pasar (bebas). Hal ini tidak dapat kita hindarkan mengingat dunia akan bergerak kearah itu. Namun, hal ini tidak berarti bahwa peran Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah tidak ada. Bahkan Pemerintah harus menyiapkan segala sesuatunya agar kita dapat memasuki era tersebut dengan aman.

Dalam bidang perkebunan, disamping petani, BUMN dan BUMS perkebunan nasional, juga kita perlu memperhitungkan perusahaan multinasional yang bergerak di' bidang usaha ini, baik secara langsung maupun tidak. Sampai sejauhmana peran mereka dan bagaimana kita mengaturnya, merupakan pertanyaan yang perlu kita jawab bersama. Oleh karena itu, hubungan Pemda dengan para pelaku ekonomi di bidang perkebunan sulit dibatasi hanya dengan BUMN, misalnya, kecuali BUMN memperoleh penugasan khusus dari Pemerintah.

Hal yang terpenting untuk membangun perekonomian yang berkelanjutan adalah adanya kepastian dan iklim usaha yang kondusif bagi setiap pelaku ekonomi. Hal ini berlaku juga bagi usaha perkebunan. Kepastian usaha sumber utamanya terletak pada. kepastian hukum yang bukan hanya menjamin efisiensi tetapi juga keadilan. Sedangkan iklim usaha lebih luas lagi persyaratannya, yaitu selain kepastian hukum dan keadilan, juga menuntut tumbuh dan berkembangnya kapabilitas dari seluruh pelaku ekonomi. Iklim kehidupan sosial-ekonomi yang kompetitif (bukan bebas dari KKN, berkembangnya budaya iptek, ketersediaan sarana dan prasarana, berkembangnya tatanan kelernbagaan yang efisien serta kualitas SDM yang terns meningkat merupakan faktor penentu maju-mundurnya perkebunan kita.

Scbagaimana telah dikemukakan, otonomi daerah dapat dipandang sebagai upaya penataan kelembagaan pemerintah yang mendekatkan keputusan pembangunan perkebunan dengan kepentingan rnasyarakat dan pemerintah setempat. Sampai sejauh mana hal ini bertentangan dengan kepentingan perusahaan, tergantung dari wujud, proses dengan mekanisme penataanya. Apakah kelembagaan tersebut berdampak pada makin kompetitifnya, makin kecilnya KKN, dan seterusnya adalah merupakan fenomena empiris yang perlu kita belajar untuk terus memperbaikinya. Namun demikian, kita perlu mengingat pula esensi multidimensi usaha perkebunan sebagaimana telah diuraikan.

Secara teoritis dapat dikemukanan pengaturan kebijaksanaan yang diperlukan adalah yang dapat membangun suasana sinergis antara Pusat dan Daerah sehingga memberikan dukungan positif bagi usaha perkebunan. Persoalan utama di sini adalah bagaimana kita dapat mengatur batas-batas yurisdiksi (jurisdictional boundaries), kepemilikan (property rights) dan aturan representasi (rules of representation) dari kebijaksanaan yang diberlakukan, yang juga kompatibel dengan efisiensi (skala ekonomis), produktifitas, transparansi, daya saing, inovasi, keadilan, keberlanjutan (termasuk integrasi bangsa), globalisasi dan sejenisnya. Tampak bahwa otonomi daerah dapat dipandang sebagai tujuan antara yang berada dalam kerangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, otonomi daerah akan memberikan sumbangan yang sangat positif apabila pelaksanaannya kompatibel dengan hal-hal yang dikemukakan di atas.

Salah satu contoh prinsip efisiensi dan keterbukaan serta kemajuan bersama akan dicapai melalui membangun network yang menjamin proses interaktif antardaerah dan antarapusat daerah, dalam pola hubungan aliansi strategis. Bahkan, dalam pola pelayanan secara network tidak dikenal lagi siapa pusat siapa daerah. Semuanya dalam satu kesatuan, dan pusat menjadi, antara lain, "clearing house". Misalnya dalam bidang perizinan. Seorang pengusaha yang berada Aceh tidak perlu pergi ke Kalimantan atau Jakarta untuk memperoleh Izin Usaha Perkebunan yang akan beroperasi di Kalimantan. Ia cukup datang ke kantor Dinas Perkebunan Aceh dan Dinas Perkebunan ini yang akan mengurus selanjutnya. Izin Usaha Perkebunan akan datang sendiri ke pengusaha yang bersangkutan dengan fee yang telah ditetapkan secara terbuka. Dengan teknologi informasi yang tersedia kita harus mengarah ke sini. Dalam pola ini, otonomi menjadi sarana pelayanan kepada rakyat, baik ke dalam maupun keluar, yang secara keseluruhan mengubah wajah pemerintah dari yang dilayani ke melayani rakyat. Dengan pola ini, otonomi menjadi bagian perekat integrasi bangsa, bukan sebaliknya.

VI. Penutup

Perkebunan di Indonesia merupakan kegiatan ekonomi yang telah berusia lebih dari 400 tahun dengan segala pasang-surut sejarahnya yang merupakan respon terhadap insentif yang tercipta dari perdagangan dunia. Bahkan, perkebunan kelapa dan tebu, sebagaimana digambarkan dalam mitologi India, telah dikenal di wilayah Nusantara ini sejak tabula 75 Masehi. Sejarah perkebunan juga telah mewariskan tatanan organisasi sosial kemasyarakatan yang relatif khas. Perkebunan selain berdimensi lokal atau nasional, juga berdimensi global. Hal yang terakhir ini tidak boleh dilupakan.

Usaha perkebunan perlu dipandang sebagai suatu sistem mulai dari pemanfaatan sumber daya alam, pengolahan basil primer hingga tahap selanjutnya. Pada tingkat on- farm perkebunan memiliki dimensi sosial, ekonomi dan ekologi yang ketiganya harus ditata secara seimbang dan berkelanjutan. Pada tingkat ini perkebunan tidak lain sebagai

industri biologis dimana manusia lebih banyak sebagai penata lingkungan hidupnya dan tanaman sebagai pabriknya. Tingkat selanjutnya merupakan proses pengolahan komoditas yang memiliki dimensi public goods tidak "sekental" usaha perkebunan di bagian hulu. Pekebun dan koperasi perkebunan perlu ditingkatkan peran dan produktivitasnya di bagian hulu ini sedangkan usaha perkebunan besar, termasuk BUMN, perlu bergeser ke down stream industries dimana posisi ini merupakan posisi terlemah kita dewasa ini.

Otonomi daerah merupakan suatu keharusan yang, pelaksanaannya hams mampu menciptakan kepastian dan iklim usaha perkebunan yang lebih baik. Persoalan utama di sini adalah bagaimana kita dapat mengatur batas-batas yurisdiksi (jurisdictional boundaries), kepemilikan (property rights) dan aturan representasi (rules of representation) dari kebijaksanaan yang, diberlakukan Daerah dan Pusat, yang juga, kompatibel dengan tuntutan efisiensi, produktifitas, transparansi, daya saing, inovasi, keadilan, .keberlanjutan (termasuk integrasi bangsa), globalisasi dan sejenisnya. Kita bersama dituntut untuk berpikir serius dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh agar otonomi daerah dapat memberikan sumbangan yang positif bagi kemajuan perkebunan sebagai sumber sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat pada masa mendatang mendatang. Salah satu di antaranya adalah menerapkan otonomi daerah dalam kerangka networking dan interaktif positif baik antardaerah otonom maupun antarapusat dan daerah.

Jakarta, 18 Maret 2000

__________________________________________________________________________________


1Makalah disampaikan pada "Seminar Nasional Meryambut Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan", Jakarta 17-18 Maret 2000.

Rabu, 17 Februari 2010

PRESS RELEASE: Fitch Affirms South Africa's Land Bank AA(zaf)

Fitch Ratings-London/Johannesburg-20 April 2009: Fitch Ratings has today affirmed the Land and Agricultural Development Bank of South Africa's (Land Bank) National Long-term Rating at 'AA(zaf)' with a Stable Outlook, and its National Short-term Rating at 'F1+(zaf)'. Fitch has affirmed Land Bank's Support Rating at '2'.

Land Bank's National ratings are solely derived from the high perceived level of support that it would receive from its 100%-shareholder, the South African government (which has a Longterm foreign currency Issuer Default Rating (IDR) of 'BBB+' and a Long-term local currency IDR of 'A' with Negative Outlooks) if required. Support is also demonstrated by a ZAR1.5bn capital maintenance guarantee from the South African government which expires on 31 December 2009, and ZAR700m of capital which was injected during FY08 to help revive the bank and to assist its development mandate. In line with previous years, management expects that the capital maintenance guarantee will be renewed and extended.

Land Bank's financial performance is weak. The institution has a history of operating losses which stem from weak risk management and poor internal controls. Fitch notes that several senior management positions that oversee the organisation's key risks remain vacant, increasing the institution's potential risk exposure. Fitch expects Land Bank to report a modest profit during FY09 primarily as a result of the recovery of non-performing loans. However these results are also expected to be negatively impacted by a contracting loan book and fair value losses on equities and other financial instruments.

Given its development mandate, Land Bank has concentrated credit exposure to the agricultural sector. Further concentrations are evident by single obligor. Asset quality is weak, with high levels of non-performing loans. Funding is concentrated, with a sizeable proportion of funding attributable to a public sector institution.

Fitch considers the institution's capital to be low in light of its weak asset quality, concentration to single obligors, poor financial performance and low liquidity. This is partially mitigated by the capital maintenance guarantee. Land Bank remains a significant player in the South African agriculture sector in supporting economic growth through the provision of retail, wholesale, project and micro-finance services.

Wawancara antara The Asian Bankers dengan Mr. Sean Chen

CEO Interviews and Transcripts
https://www.theasianbanker.com/A556C5/Journals.nsf/($All)/2D979274126D03B94825751200099061?OpenDocument
Published August 31, 2006

Transcript: Interview with Sean Chen, Chairman, Taiwan Cooperative Bank, August 18, 2006
Interviewed by Emmanuel Daniel

TAB: Please profile Cooperative Bank for people outside Taiwan. How would you describe the
bank?

TCB: I would like to share with you that this bank will celebrate its 60th anniversary in October.
It’s not the oldest in Taiwan, but this bank was established after World War II. At that time the
major purpose was to help the government in playing the role as the central bank for the
community financial institutions, which means credit cooperatives, farmers associations, and
fishermen’s associations.

TAB: How many credit cooperatives were there in Taiwan?

TCB: At that time more than 400.

TAB: And all of them were very small?

TCB: Very small. Community financial institutions were very small.

TAB: Would you say there was a policy bank as a result?

TCB: Yes, a de facto policy bank, but not legally.

TAB: In the years that it developed from the end of World War II, what was the profile of its
funding source and its asset base? How did that change over time?

TCB: At that time the government held about 60 percent of the shares. The remaining shares
went to the community financial institutions in Taiwan. You can understand when the
government was the single, largest shareholder, it played a very important role to lead the
direction of the bank. Until I took helm of this bank, it was not a public company. In November
2004, this bank became a public bank and listed in the Taiwan Stock Exchange.

TAB: Your background was that you were from the Ministry of Finance.

TCB: Yes, I started my career in the domestic banking institutions which include Taipei Bank,
which has now become Taipei Fubon Bank. I have been in the banking industry for 15 years,
then I have been asked to join the Ministry of Finance to carry out the so-called financial deregulation in 1989. At that time I also played the role as a banking supervisor. I led the socalled Bureau of Monetary Affairs. At present, it’s called the Banking Bureau under the FSC. I
also led the Insurance Bureau under the Ministry of Finance. Before the FSC was established, the Ministry of Finance was the financial service supervisory body in Taiwan. Before the
government reshuffle in 2001, I was the deputy minister of finance. After the government
reshuffle, I was asked to lead the Taiwan Stock Exchange as Chairman for two years. In 2004 I
was asked to take the helm of this bank.

TAB: When you were asked to take the helm of the bank after a very illustrious career as deputy
minister of finance and chairman of the Taiwan Stock Exchange, was there a mandate given to
you? Was this bank given to you as a project, almost?

TCB: Actually there was no written mandate. But I have been expected to achieve something.
This is an institution with a very long history. But bearing the policy, the function, if you have to
help those community financial institutions, financially speaking they are all very weak under the
competition with the major commercial banks. Traditionally speaking this bank bore the socalled
burden to help those community financial institutions. Shortly before I came to this bank,
there was another institution established. Legally that institution was required by the government, by the law, to support those community financial institutions.

TAB: What is the name of that institution?

TCB: It’s called Agricultural Bank of Taiwan (opened May 26, 2005).

TAB: In China, they have the same problem – they have hundreds of credit cooperatives but they don’t have a competent authority for the credit cooperatives, although the regulator is separate from the Ministry of Finance. It’s People’s Bank of China and the China Banking Regulatory Commission. When you have cooperatives competing for funds, competing for deposits together with commercial banks, they tend to be weaker. Very often they propped up by government in that sense. What is the situation in Taiwan and what’s the special position of Taiwan Cooperative Bank.

TCB: Since you mentioned the situation in China, I always say that China has 50 times the
population of Taiwan. When we have similar problems, their problems are always 50 times
bigger. In terms of the cooperatives institutions is somewhat different because China is a huge
country. Those community institutions still have a strong role. With Taiwan it’s highly dense.

TAB: You have to be big or nothing.

TCB: Those small-scale institutions don’t have much role to play or to compete with commercial
banks, especially after the financial deregulations which took place in 1990. Financially speaking
those institutions are weak, but politically speaking they are strong.

TAB: They are important?

TCB: Yeah, because they have a lot of members and each member has one vote.

TAB: That was the case in Taiwan already?

TCB: Yes, for a very long time.

TAB: When you came in from the stock exchange, what was the most important priority that you gave yourself?

TCB: At that time this bank was still, legally speaking, an agricultural bank. We have different
types of banking institutions. This bank at that time was chartered as an agricultural bank. That
was not a very profitable banking charter. I tried to change the status. The first step I had to allow this bank to enter the capital market to raise new capital easier than previously. Two weeks after I came here, I filed an application with Taiwan Stock Exchange. In three months this bank was listed in the Taiwan Stock Exchange and became a public company. I tried to change the structure of the shareholders. I persuaded the government, I persuaded the members of our
parliament and also persuaded the members of our union. Six months after the listing with the
exchange, we became privatised. It’s a very unique experience because when the government
released 13 percent of the shares they held, they were entirely taken over by our employees.

TAB: Give us a profile of the employees. The typical cooperative bank employee, are they from
the agricultural sector?

TCB: No.

TAB: They are bankers, then, and they’ve been here for a long time and have shown commitment to the bank?

TCB: Yes. That’s very interesting – when I first came here, I looked through the profile of our
employees. I found a very interesting thing. The first job of most of the employees is in this
bank. The only job in their lifetimes. You can see the loyalty of the employees and their
commitment to the institution. Most of the employees are highly educated. More than 60 percent are college graduates. I can explain that because this bank used to be a state-owned enterprise. The government held 60 percent of the total shares before the privatisation. Legally the employees of this bank have to pass the so-called Government Employee Examination so that they all meet certain standards. In such an environment without much competition, upon
graduation you already reach a certain level, the motivation and incentive program was not very
successful. I had to try to cheer up the morale of the employees.

TAB: Was the bank losing market share at that time, after or before the listing?

TCB: At that time, in the neighbourhood of eight percent of the market share in Taiwan. Deposits and also the loan portfolio. Actually that’s just a snapshot of the market share. If you compare the history, you can see the market share declining, always declining.

TAB: But it didn’t bother the staff or employees.

TCB: Yeah, because you are a government employee legally speaking. There was no incentive
program to encourage those employees to increase the market share.

TAB: When you took it to a listing, what was the story for the stock market? All the shares
available were taken by these employees or was the market interested in the bank?

TCB: That’s another interesting issue. Upon the IPO, theoretically speaking I had to persuade the government to set aside a small percentage to do the IPO. Under our legal framework the
government had no budget to raise the stocks debt yield for 2004. I had to persuade the other
small shareholders like the credit cooperatives that they try to set aside a small portion that they hold. Totally only one percent of the bank share had been put together and divested to the general public. In the year 2005, I persuaded the government to put that into the budget. That’s around 13 percent of the total shares at that time. Under our legal framework, when the government stock holding is under 50 percent, the institutions will be deemed as privatised. Any share release over 11 percent would be acceptable, but I persuaded the government to set aside 13 percent. Under our law, the state-owned enterprise employees can enjoy a priority to subscribe to stocks released by the government. I had to do an opinion survey to ask if you are interested to take over the shares. This was also a surprise to me. All the shares released by the government were subscribed by the employees. The amount was huge to the employees. It was NT$7 billion ($215 million). At that time we only had 6,800 employees. On average, every employee had to spend NT$1 million ($22,529) to subscribe to the shares, but they did. The privatisation procedure, of course you can imagine – I had to persuade the government, persuade the parliament, persuade the union… But generally speaking I would say that whole procedure went very smoothly.

TAB: What was the union’s opinion of this process? Were they afraid?

TCB: Yes. At first they were very suspicious about the necessity of the privatisation. After the
communication with them, they realised how important and meaningful the privatisation is to the future of this institution. As I told you, those employees are strongly committed to this institution, so they finally spent NT$7 billion to subscribe.

TAB: Most of the employees who subscribed were unionised people?

TCB: Yes.

TAB: During the IPO, what was the story? What was the plan for the bank? What was the story
that you were telling shareholders?

TCB: Frankly speaking we didn’t have much stories at that time. But because I have been in the
banking industry for a very long time, so when the structure of the board changed and the
chairman changed, a new president, a new CEO was appointed, the general public had a different
impression about this bank. Traditionally this bank has been considered a very old institution
without any motives to promote new financial products. When we showed the general public that
we have a different people here, that in the not distant future we will do something. At present
time maybe there’s no story.

TAB: What are some of the elements that you probably have started putting in place? Risk
management, cost of funds, branch re-engineering, some of the operational elements that you
may need to put in place.

TCB: For example, the customer relationship management. That’s very important because this
bank has a very large customer base in Taiwan. We have about 4.5 million customers. In Taiwan
there are only 23 million people. The market share is around eight percent. For such a huge
customer base, if you don’t an efficient customer relationship management system, that would be useless.

TAB: The reason why I keep asking about liabilities is because around the world the
cooperatives’ biggest problem is liabilities, building the deposit base. Very often it’s government
intervention and policy-based liabilities. Then that affects your ability to provide loans cheaply
and competitively. Also the landscape changes so some of your traditional commercial banks start encroaching in your…

TCB: Actually there was some misunderstanding. This bank carries the name cooperative but we are not a cooperative. In a cooperative, legally speaking, there’s one person one vote. In a
company one share one vote. It’s somewhat different. This bank is a company. Maybe before the
listing we were not a public company, but still a company with limited liabilities. It’s somewhat
different from the other institutions in the form of cooperative. In a cooperative you cannot raise
funds because no matter how many share you hold you still have one vote.

TAB: Basically it already has a discipline of a company?

TCB: Yes.

TAB: In terms of distribution network, are you very strong in Taipei or are you stronger in certain rural parts of Taiwan?

TCB: Every corner in Taiwan.

TAB: How many branches do you have?

TCB: Before the merger we had 184 [branches]. That was already the largest network. Now we
have 294, almost 300.

TAB: What are some of the initiatives that you’re pushing out right now? There’s customer
relationship management. Is there branch re-engineering? Is there process type of work that
you’re doing or staff incentive schemes?

TCB: We already conducted the traditional banking business, sometimes called core business: different types of deposit-taking, different kinds of commercial loans. They’re already there.
When you talk about the stories – after the IPO, when you list with the stock exchange, you got to have stories for the general public. At that time our story is that we are going to be privatised. We are going to find an ideal target to merge, to acquire, to try to expand our network. We also have new financial products through the CRM system. For example we didn’t have the wealth
management business. At the beginning of last year I set up a wealth management department
within the bank, and in every branch office in Taiwan we set up a special wealth management
counter. That’s quite a new thing even for our customers. Before that our customers outside the
metropolitan areas are grassroots customers. They don’t have the idea of wealth management.
They simply put the deposit with you and stick with you for their lifetime. We tried to educate our customers. “You can do wealth management with us.” It was also helpful for our profits.

TAB: When you made the acquisition of Farmers Bank, what were you acquiring? Were you
acquiring a large distribution base or were you acquiring a strong customer base? What was the
purpose of the acquisition?

TCB: This is another very complicated situation. In Taiwan the merger and acquisition activities
didn’t take place until four or five years ago. Those private commercial conglomerates like
Fubon, Cathay became very active and didn’t hesitate to show their ambition to acquire – not
only the small but also the big financial institutions. For example, Shihua Commercial Bank had
been acquired by the Cathay Group. Changhwa was acquired by the Taishin Group. Actually
Changhwa is even bigger than Taishin. The employees in the bigger financial institutions are
afraid and feel very unsecure because someday their institution will be acquired by the other
private financial conglomerates. They don’t like that. In the privatisation procedure, I discussed
and communicated with the members of the union. I understand what they are thinking. I told
them, “If you don’t like to be acquired by the other people, you have to take the initiative to
acquire the other people.” It’s not easy for us to acquire the private conglomerate. Our target is
the other institutions smaller than us, but the government also played a certain role. Farmers
Bank is one of the institutions which met our standard. At that time the government held 28
percent of that bank.

TAB: So if you divest that it’s a takeover.

TCB: They encountered certain difficulties in operating the institution so that’s a good chance for
us.

TAB: In that sense, how did you fund the takeover? Were the shares doing well?

TCB: We didn’t have to fund. In the merger case, you only offer the so-called share exchange.

TAB: Farmers was also a listed institution?

TCB: It’s listed with the stock exchange. After careful calculation of the net asset, we offered one
share for their 2.4 shares. That’s the exchange rate. Their shareholders accepted it.

TAB: What do you acquire as a result? With the association you are now the largest player in
Taiwan.

TCB: After the acquisition we are the largest. Before that we were the second largest institution
in Taiwan. At that time the market share was in the neighbourhood of eight percent no matter in
terms of deposit taking, loan or total assets. Farmers Bank held around two percent. After that we are holding now 10 percent.

TAB: Do you think the threat of potentially being acquired is over now?

TCB: It’s not over, but it make the other financial conglomerates more difficult to swallow.

TAB: In terms of career, actually your career is very interesting because you are a government
man, you were in the regulatory part of the business for a long time and then now you’re running
a business itself. How did these opportunities come about? Do you think that you made the
transition very well?

TCB: I don’t know. I didn’t intentionally make those transitions. As I told you, I started my
career in the domestic commercial banks for a very long time. When the government intended to
do the financial deregulation in 1989, they had to find someone from the banking industry to help
them. In our country, every government official has to pass a government office examination. For a senior government officer, there was another examination. I was the only one at that time in the banking industry who possessed those kinds of qualification because I passed the two different examinations.

TAB: Do you think that’s changing right now because the government is taking on people from
more commercial banks?

TCB: Now the legal framework is different. For senior people, they can be exempted from those
qualifications. For example, this afternoon if you go to the FSC, you can see all the members in
the commission. At present time [there are] maybe seven members. I think none of them passed the government office examination because most of them came from an academic area. Maybe they have academic qualification, but not the government officer qualification.

TAB: What’s happening to the career government officials? Are you familiar with Joseph Lyu,
the former chairman of Bank of Taiwan? He was also Minister of Finance for a while.

TCB: He left office two months ago.

TAB: I met him I think maybe two years ago. He was very passionate about Bank of Taiwan.

TCB: Actually he started his career in the foreign banking community in Taiwan. Unlike me, he
joined the government after the government reshuffle in year 2001.

TAB: The reason I brought him up is because is there a pressure on government leaders like
yourself in terms of scrutiny? Is there a kind of political pressure for you to perform that you have to be careful of what you do?

TCB: I don’t the other people [but] for me, [there’s] no such case.

TAB: It’s quite straightforward in that you’re given a mandate to run this bank and that’s it.

TCB: Yeah.

TAB: I was quite impressed with him when I met him. I don’t know the story of how things
happened but you get this impression that sometimes all this political pressure in Taiwan that
when you become too obvious certain political parties would look at you…

TCB: Personally I think that Mr. Lyu had a very strong pressure at that time when he took the
helm of the Bank of Taiwan. At that time he was the youngest chairman in the Taiwan banking
industry. He’s much younger than I.

TAB: How long do you think your mandate is going to last for Taiwan Cooperative Bank? It’s
two years, so how many more years do you think?

TCB: I don’t know. I’m getting older and approaching to retirement age.

TAB: What would you like to be remembered for when you finish this mandate? When they look
back what is the most important achievement for you?

TCB: When I came here, the only thing I wanted to do was to try to turn around this old
institution. This institution has a very long history and enjoys a very good reputation in Taiwan,
not only because of the performance in the traditional banking business but also of the role which
helped the community financial institutions to grow.

TAB: Is there an international component to what you’re doing? Are you setting up in Hong
Kong or something like this?

TCB: This institution used to be a grassroots institution and had no intention to have any
presence abroad. When I was a young banker in the other banks, I came to this bank to teach
them how to do the international banking business because this bank didn’t have any idea of the
international banking business. You can see how grassroots it is.

TAB: Because it’s so strongly grassroots, do the political parties interfere in the bank? Do they
have a grassroots influence as a result, like who you lend to and things like this?

TCB: When too many parties intend to interfere, there will be no influence because you can
simply say…

TAB: …no to all of them...

TCB: …and I have to be very fair to everybody.

TAB: So in the end you have taken the position of being fair to everybody although there is this
culture of trying to interfere?

TCB: Sure. I think they have all been discouraged.

TAB: Actually grassroots is very good, because many foreign potential acquirers will look at a
cooperative bank and say, “this is like a diamond because it gives you access right down to the
grassroots. It’s not exactly a very strong institution but it’s changing.” Foreign institution can try
to make an influence. Have you had any overtures, like foreign organisations coming to talk to
you?

TCB: Yes. We are quite open – open-minded and open attitude – to cooperate with the other
foreign institutions because we have a very large branch network. Any foreign institutions that
intend promote their financial products through our channels, we would be very happy to
cooperate and include their product as one of our wealth management products.

TAB: So using your distribution base?

TCB: Yes.

TAB: Tell me a little bit about your balance sheet in terms of profitability, in terms of
composition of loans, composition of funds.

TCB: The ROE/ROA of this institution was under the average of the entire banking industry in
Taiwan before 2004. When I came here we tried to make some improvements. I don’t intend to
mention the details, but I could share with you the result for the first half of this year or even the
first quarter of this year already exceeded the total profit of last year. You can see the
improvement.

TAB: So you do that by managing the cost very strongly, or…?

TCB: I tried to change the structure of our asset, of our liability.

TAB: What is the composition of the asset? Is it lending to small businesses, small farmers?

TCB: In terms of the SME lending, we are leading the industry. The problem is… when I say we
try to change the structure of our liability or asset, for example in our total liabilities, the deposit
from our farmers associations occupies a certain percentage, 20 percent. I tried to reduce the
percentage, because of the political consideration. When they deposit with us, we have to give
them a very favourable interest rate. That’s not good for our costs, so I try to reduce the
percentage and shift those deposits to other institutions like the one I mentioned to you, the newly established Agricultural Bank of Taiwan. I also try to change the structure of our asset
structure, like reducing the percentage of the loans extended to public enterprises, or the local
domestic government because you couldn’t enjoy the good interest rate from those customers.

TAB: What is your push in terms of the loan profile? Are you looking for longer tenure products
like mortgage or something like this?

TCB: Yes because we already have a very good performance in terms of housing loan or SME
loans. We simply impose some targets to our branches islandwide. That would be easier for us to
restructure our asset or liabilities. It will be very helpful to the profitability.

TAB: Do you raise funds in the market now?

TCB: We intend to do that before the end of this year.

TAB: Through equity?

TCB: Equity, yes.

TAB: Do you have a Moody’s rating?

TCB: Yes. BBB+.

TAB: Was it necessary to have a rating?

TCB: Actually we don’t need an international rating. Before that we only had the domestic rating.
I also asked S&P to give us an international rating, so that’s BBB+. It’s not necessary for us to
have an international rating because we don’t intend to go abroad and raise funds. That’s good for us because S&P will come here and talk to the people and the senior management so all the
persons feel the pressure. They will reconsider their position in the institution. For that, that’s
good enough.

TAB: Thank you very much.

Sabtu, 13 Februari 2010

HATIKU UNTUKMU PETANI

Dalam tubuhku mengalir darah petani
Inti sari tanah. air, tanaman, ikan, ternak hasil keringat para petani

Sejak dalam kandungan aku sudah dubuai kasih sayang keluarga petani
Karena uyut, kakek, nenek dan ibuku adalah para petani
Karena saudara-saudaraku juga para petani
Para petani kecil yang hidup di desa terpencil, indah, sepi, sunyi
Walau sekarang sudah bermukim di pinggir jalan dan ramai klakson mobil nyaring berbunyi
Hidup mereka masih tetap sebagai petani murni
Kalaupun mereka berdagang tetap saja jiwanya jiwa petani
Seolah-olah semuanya sudah alami
Bernyanyi dengan irama lagu-lagu petani
Irama lagu tanaman, tanah, cangkul, air hujan dan tiupan angin dingin mengelus semua penghuni
Semua mengalir bagai air sungai kenangan yang datang silih berganti mengisi sanubari ini.

***

Bagaimana kehidupan petani sekarang ini?
Apakah mereka sudah mendapat apa yang mereka cari?
Apakah mereka mengerti apa yang telah terjadi selama ini?
Apakah mereka tetap ingin menjadi petani?
Apakah mereka tidak merasa iri melihat isi dunia ini?
Apakah mereka tidak frustasi?

Akh..... masih banyak sekali yang mengganggu pikiran ini
Memang aku sudah lama pergi meninggalkan desah nafas dan keringat petani
Memang aku sudah lama tidak tidur dalam dekapan hangat para petani
Tapi tali batinku terus bersilaturahmi
Terus menyapa bayang-bayang saudara-saudaraku para petani
Bahkan petani diluar kampungku sendiri
Para petani di seluruh negeri kupandang saudaraku sendiri
Mereka yang telah memberi negeri ini isi periuk nasi atas hasil keringat sendiri
Dengan hasil yang tak cukup untuk menghidupi anak istri
kecuali dengan menghemat sekali
Cukup makan dengan garam, cabe dan sambal terasi
Ya... itulah makanan petani sehari-hari
Tak pandang apakah itu cukup bergizi

Jangan dikira dengan berkata begitu aku mencari-cari
Kelemahan dan kesalahan para petani sendiri
Hidup miskin karena mereka malas berdikari
Hidup susah karena mereka tak pandai mencuri
Hidup terbelakang karena mereka tak tahu diri
Sebaliknya aku ingin berbakti
Membalas budi kebaikan para petani
Yang telah membuat negeri ini tetap tegak berdiri
Walaupun uang negara triliunan telah dicuri
Oleh mereka yang menilai diri sendiri bermartabat tinggi
Oleh mereka yang merasa menjadi pahlawan negeri ini
Aku perlu berkata begini
Tuan-tuan dan nyonya
Para petani adalah kakinya negeri ini tegak berdiri

Saudara-saudara dan saudari-saudari,
para petani adalah sumber rezeki yang tak pernah mereka nikmati sendiri
Bapak-bapak dan-ibu-ibu, para petani adalah mata air yang melahirkan putera-putri mandiri
Teman-teman para petani adalah kunci pembuka besarnya ekonommi
Ya... tak banyak diantara kita yang memahami
Tanpa para petani kehidupan kita tak akan berarti
Tak akan ada pegawai negeri kalau tak ada petani
Tak akan ada pedagang gula, lada, pala, cengkeh, tembakau dan kopi kalau tak ada petani
Tak akan ada TNI kalau tak ada petani
Tak akan ada yang lain kalau tak ada petani

Kalau tak ada mereka
Kita juga harus bertani mencukupi makan sendiri
Jadi kalau kita bertambah kaya tetapi petani bertambah miskin
Apa arti semua ini?
Kalau kita bertambah senang tetapi petani bertambah susah
Apa makna semua ini?
Kalau kita bertambah maju, tetapi petani tambah tertinggal
Apa yang terjadi?
ya... apa yang akan terjadi?
Mari kita teliti

***


Ingatlah zaman kita susah mencari makan?
Kepada siapa bangsa ini meminta peran?
Tujuan pembangunan adalah untuk mencapai swasembada pangan
Semua orang meminta petani turun tangan
Dengan suara gemuruh Bimass pangan diluncurkan
Dengan paksa petani harus seragam menanam
Dari benih padi hingga pola tanam
Bertahun-tahun itu ditanamkan
Mengubah tradisi lama membangun budaya keharusan
Ini-itu harus dilaksanakan
Mulai dari Aceh hingga Irian
Berkembanglah budaya gerakan
Tak pernah kita bertanya apa artinya itu kawan?
Atas nama ketahanan pangan petani dikorbankan
Kalau sudah nilai tukar petani berirama rawan
Semua lepas tangan... semua lepas tangan
Teori ekonomi mikro dijadikan pegangan
Karena supply lebih besar dari permintaan
Harga turun merugikan petani adalah kewajaran
Akh... masa iya begitu kawan!
Apakah itu arti kemanusiaan?
Dimana sinar akalmu kawan?
Katanya kau pakar number one!
Tidak!
Teori ekonomi harus tunduk kepada asas kemanusiaan
Karena ekonmomi bukan hanya teori untuk memilih kawan!
Bacalah berulang-ulang buku Adam Smith, kawan!
Dari judul saja sudah kelihatan: "The Wealth of Nations" yang berisi tentang sumber kesejahteraan
Bagaimana mungkin kita menjadi bangsa kaya kalau sebagian besar penduduknya menderita?
Bagaimana mungkin petani kaya kalau setiap panen baginya tidak bermakna?
Bagaimana mungkin akan terjadi transformasi ekonomi kalau petani terus merana?
Bagaimana mungkin industri dan jasa akan berjaya kalau menghisap petani saja?
Bagaimana mungkin kota akan aman sentausa kalau petani dan orang desa lainnya tetap sengsara?
Lihatlah pengalaman Amerika
Dengan berbagai cara menggunakan akalnya
Produksi petani melipat ganda besarnya
Jumlah petani sekarang tinggal 2,5% saja
Walaupun hasilnya sudah menghidupi dunia
Walau luas lahan petani bertambah jumlahnya
Negara membela harkat derajat petani
Jepang juga demikian
Eropa juga demikian
Semua membela petani dan pertanian
Apa yang sudah kita berikan untuk petani dan pertanian?
Sekali lagi apa yang sudah kita berikan?

***

Kita sudah banyak memberikan beban
Ingatlah desah nafas Cak SAKERAH kawan?
"Tahun ini produksi gula meningkat karena tanaman ini produksi gula meningkat karena tanaman tebu berhasil baik. Artinya kita harus lebih keras memikul beban", kira-kira begitu kawan
Mengapa produksi tinggi menjadi beban?
Karena hasil yang diterima petani tak setimpal dengan pundak yang memikul beban
Hasil yang tinggi itu hanya diterima oleh orang lain kawan
ini semua sudah menjadi ceritera lama sepanjang putaran roda zaman

Apa kita harus terus berpangku tangan?
Apa kita harus menyerah terhadap keadaan?
Apakah kita sudah terbeli oleh pihak petani punya lawan?
Ampun Tuhan aku menggunakan kata Lawan
Bukannya aku ingin membuat suasana rawan
Aku hanya tak punya kata pilihan yang dapat menggantikan
Apa boleh buat Tuhan
Karena Engkau Maha Kuasa atas segala penyelesaian permasalahan
Kata lawan harus kita ubah menjadi kawan
Itulah yang aku mohonkan untuk kau beri kami jalan
Hikamah untuk menuju perubahan
Yang harus dilakukan dengan segala perjuangan
Agar kita menjadi petani punya kawan dan persahabatan
Mengapa demikian kawan?
Karena hanya itu yang dapat mengurangi petani punya beban
Dengan membangun persahabatan
Penghargaan kepada petani akan kita berikan
Seperti air hujan yang diturunkan Tuhan
Menyiram menyuburkan tanaman
Menebar hikmah menyebar kedamaian
Darimana kita mulainya kawan?
Kita mulai dari doa setiap kita akan makan
Kita mulai dari dia setiap kita selesai makan

Kita katakan: "Tuhan karena Engkaulah sang pengatur alam semesta, karena hanya Engkaulah pemegang nasib seluruh manusia, karena sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatunya, maka limpahkanlah berkah dan hidayah kepada saudara kami para petani agar mereka mendapatkan limpahan rizki dariMu ya Tuhan"

Kitapun harus memeras pikiran
Sinar akal yang Tuhan berikan
Dasar perjuangan menolong kawan
Mengapa demikian?
Karena kita sudah lupa atau perlu disadarkan kalau yang kita kerjakan ternyata menyenangkan lawan
Dengan mengatas namakan ilmu pengetahuan
Padahal itu hasil rekaan
Yang asumsi dasarnya disembunyikan
Globalisasi sering dipakai sebagai tempat menyembunyikan
Pembungkus kebijaksanaan dalam persaingan yang tak dapat membedakan antara persaingan dengan penghisapan
Terhadap negara bekas jajahan
Efisiensi dikatakan sebagai asas
kebiiaksanaan sekaligus tujuan
Pertumbuhan dijadikan sasaran tanpa dasar hikmah kemanusiaan
Itu sudah dari dahulu diberlakukan
Tapi ingat apa yang dihasilkan ?
Ketimpangan antara bangsa maju dan bangsa tropika semakin terasa menyakitkan
Itulah hasil Jeff Sachs punya penelitian
Professor dari Harvard Universitas kenamaan

Apakah kau tahu ciri seorang Yang ilmunya tinggi, kawan?
Buatku ia adalah orang Yang bisa "menghidupkan yang mati" kawan !
Mengapa aku berkata demikian?
Karena pertanian kita akan menuju kematian
Kalau kita tidak mampu menemukan ilmu pengobatan untuk menyelamatkan
kita punya pertanian
Mungkin aku dipandang berlebihan
Tak apalah kau berkata demikian
Daripada kita lengah berpangku tangan
Daripada kita menggantungkan diri kepada konsultan yang tak menghasilkan
Daipada kita hanya berbicara kiri-kanan
Lebih baik kita berdebat sampai pingsan
Untuk mencari ilmu pengetahuan
Yang dapat menyembuhkan kita punya pertanian
Dengan tetap memelihara persahabatan
Antara kita yang sudah menjadi korban keadaan
Dengan ilmu pengetahuan yang kita hasilkan
Mudah-mudahan ia menjadi pelita harapan
Untuk menambah perkawanan dan persaudaraan
Untuk meniadikan yang tadinya lawan menjadi kawan

Kita harus bisa meyakinkan
Mulai dari para pengusaha hingga negarawan kawakan
Mulai dari tentara hingga pedagang perantara pinggiran
Mulai dari ibu-ibu rumah tangga hingga perempuan usahawan
Mulai dari profesor hingga anak ingusan
Ya... semua harus bisa kita yakinkan

Bahwa Pertanian bukanlah tempat buangan
Bahwa pertanian bukanlah tempat kita cuci tangan
Bahwa pertanian bukanlah tempat susah sumber kehidupan
Bahwa Pertanian bukanlah bidang pekerjaan asal-asalan
Bahwa pertanian bukanlah tempat tanpa kebanggaan
Kawan itulah kita punya medan
Memang tidak mudah Perjuangan itu kawan
Tetapi kalau Indonesia yang kita cita-citakan harus menjadi kenyataan
Maka kita tak dapat mengelak dari medan itu kawan

***

Aku masih ingat benar nasehat butku
Aku masih ingat benar amanat kakekku
Aku masih ingat benar perkataan ibuku
Bahwa ilmu itu nomor satu
Maka aku disekolahkan untuk menuntut ilmu
Agar keturunan buyutku dapat maju
Agar harkat derajatku dapat bergerak maju
Tentu aku bukan hanya aku

Tetapi semua anak-anak darah keturunan petani harus bisa dan kuat maju
Kalau tidak begitu bagaimana bangsa ini akan maju
Karena sebagian besar penduduk bangsaku adalah darah keturunan petani seperti aku
Dengan pendidikan terbuka kesempatan untuk maju
Kita harus mendahulukan itu
Contohlah sumber asal kemajuan bangsa-bangsa yang sudah maju

Bangsa Eropa punya Renaisance dan Jepang punya Restorasi MEIJI yang terkenal itu
Ujung-ujungnya adalah ilmu
Yang sumbernya adalah Pendidikan bermutu
Mulai dari pendidikan yang diberikan ibu hingga para maha guru
Penelitian pertanianpun harus kita nomor satukan
Karena ini merupakan sumber kemajuan teknologi dan ilmu Pengetahuan
Apalagi kita sudah jauh dalam ketertinggalan
Dari negara maju yang sudah jauh melesat kedepan

Kebijaksanaan harus ditata bukan atas dasar kepentingan golongan
Apalagi untuk kepentingan golongan yang selama ini memanfaatkan ketertinggalan
Golongan yang mengandalkan datangnya kekayaan
Atas beban siksaan petani dan pertanian
Atas nama efisiensi padahal itu hanya tipuan
Atas dasar persaingan padahal itu ketidakadilan
Semua itu sudah menjadi kenyataan yang membuat petani menderita tak terperikan
Hingga mereka sudah tak dapat lagi merasakan penghisapan
Karena sudah dianggap takdir Tuhan

Kalau pengusaha melakukan re-ekspor barang pertanian
Mereka katakan itu sudah menjadi kebiasaan dalam perdagangan
Kalau petani tahu kalau itu sudah menjadi kebiasaan
Maka itu adalah penghinaan
Bagi mereka yang selama ini berada di alam pinggiran

Maka informasi harus kita sebarkan
Agar cakrawala terbuka dan melahirkan harapan
Untuk menghindarkan kebiasaan yang merugikan Persaudaraan dan persahabatan
Organisasi petani harus menjadi sumber kekuatan
Untuk membangun dan menggalang persaudaraan dan Persatuan
Dalam menghadapi kenyataan
Medan laga Yang menuntut kekuatan perjuangan
Dengan begitu akan tercipta keseimbangan
Dalam mencari sumber kehidupan dan keuntungan
Inilah batu ujian

Apakah kita mampu membangun kemitraan dengan dasar saling menguntungkan
Karena itu tak perlu benci dan dendam disimpan dalam kenangan
Buanglah itu ke Laut Selatan
Terhadap siapapun yang pernah mencelakakan dan merugikan
Bantuan asing tetap kita perlukan
Selama itu tidak merugikan dan tidak menghilangkan kemerdekaan
Karena itu kita harus menyiapkan dengan organisasi petani tampil paling depan
Untuk menguji apa yang mereka perlukan
Tentu dengan dukungan barisan ilmuwan
Yang memiliki integritas dan kemampuan untuk melakukan pembelaan
Atas dasar kebenaran dan kemanusiaan

Yang harus segera berubah haluan adalah dunia perbankan
Untuk menciptakan program yang pas bagi pertanian
Jangan hanya menunggu datangnya Jutawan kawan
Seperti yang sering selama ini kita saksikan
Adalah kenyataan petani dan pertanian kita masih ketinggalan
Adalah kenyataan bahwa mereka belum bisa membuat usulan
Adalah kenyataan bahwa mereka belum punya sertifikat jaminan
Itu bukanlah alasan
Karena kita lebih berpendidikan
Karena kita lebih berpengalaman dalam soal keuangan
Maka perbankan harus langsung turun tangan
Seperti seorang ibu ikhlas memberi anaknya makanan
Itulah cara kerja perbankan budiman
Yang akan cepat mendatangkan kemakmuran
Masih banyak lagi yang aku ingn kemukakan
Tapi sudahlah engkaupun lebih banyak tahu dari padaku kawan

***

Jam dindingku sudah menunjukkan jam dua belas malam
Hari ini hari minggu tengah malam
Tanggal 3O Desember akhir tahun 2001 yang tampak muram
Oh Tuhan pencipta siang dan malam
Hanya kepadaMulah aku menyembah
Hanya kepadaMulah aku melantunkan doa
Apakah tahun-tahun mendatang masih menjadi tahun yang kelam
Bagi saudara-saudaraku para petani yang mengolah alam
Aku berseru kepadamu dengan seluruh hatiku
Ya Tuhan sang pencipta alam dan kalam
Limpahkanlah karunia, rakhmat, hidayah dan inayahMu bagi saudaraku para petani mulai ini malam
Agar bisa keluar dari kehidupan kelam
Kuciptakan puisi ini sebagai persembahan malam
Untuk menggapai RidhloMu Tuhan sekalian alam.


Baranangsiang, 30 Desember 2001

Agus Pakpahan

Kamis, 11 Februari 2010

KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN


KETAHANAN PANGAN BUKAN SEKEDAR PERSOALAN PERTANIAN
TETAPI SOAL HIDUP ATAU MATI(1)

Agus Pakpahan


Yth. Rektor Universitas Padjadjaran,

Yth. Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Yth. Para dosen, mahasiswa dan seluruh Civitas Academica Universitas Padjajaran,

Yth. Hadirin dan Hadirat sekalian yang kami muliakan


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita sekalian


Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji-syukur ke khadirat Illahi Rabbi, Tuhan Sekalian Alam, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk dapat berkumpul pada kesempatan yang berbahagia ini. Pada kesempatan yang pertama ini pula, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Universitas Padjadjaran, yang telah memberikan kehormatan bagi saya untuk dapat berbagi buah pikiran dan mengambil pelajaran pada kesempatan yang sangat berharga ini.


Tema yang diberikan kepada saya adalah ”Lembaga Regulator untuk Komoditas Pertanian Strategis pada Sistem Pangan Nasional (Food National System), dalam rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Cukup lama saya memikirkan apa kiranya yang tepat untuk dijadikan fokus uraian dalam pembicaraan kita sekarang ini. Mengapa kita berfokus pada lembaga regulator, misalnya, sebagai isu sentral dalam sistem pangan nasional telah menyita waktu saya cukup banyak sebelum saya memulai menulis apa yang akan saya sampaikan.


Dengan tetap akan menyampaikan pemikiran tentang Lembaga Regulator sebagaimana yang diminta Panitia, saya mohon diberikan kesempatan apabila akhirnya saya memilih fokus pembahasan pada hal yang lebih mendasar lagi, yang tentunya memiliki implikasi penting terhadap kehidupan rakyat, bangsa dan negara kita pada waktu mendatang, yaitu: ketahanan pangan adalah soal hidup atau mati.


Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati ini bukanlah istilah baru. Istilah yang saya ambil dari pidato Presiden Soekarno pada peletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 1952, lebih dari 55 tahun yang lalu. Pada era Presiden Soeharto, istilah swasembada pangan menggantikan istilah berdikari, dan dunia sepakat bahwa Indonesia pernah mencapai status swasembada beras pada tahun 1984, atau sekitar 20 tahun setelah tahun 1965. Isu pangan sebagai soal hidup atau mati, atau isu swasembada atau berdikari, saya pikir perlu kita angkat lagi ke percaturan ekonomi-politik globalisasi yang kita hadapi.


Saya angkat lagi isu swasembada atau berdikari ini sebagai isu sentral mengingat semua negara maju juga dicirikan oleh swasembada mereka di bidang pemenuhan pangan pokoknya. Bahkan sudah menjadi pengetahuan dan praktek umum bahwa gandum, beras atau gula serta jenis pangan pokok lainnya yang masuk ke pasar dunia adalah kelebihan produksi atau stok yang ada di setiap negara, sehingga pasarnya dinamakan residual market. Hal ini menunjukkan berlakunya hukum atau dalil yang kiranya menyatakan bahwa suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan pendudukunya secara baik.


Saya menyadari sepenuhnya bahwa saat ini saya berhadapan muka, bertemu pikiran, dan berikatan tali batin dengan kaum cerdik-cendekia, kaum terpelajar dan para pemimpin arif-bijaksana yang memusatkan seluruh perhatian dan kemampuan untuk menyelesaikan satu aspek kehidupan yang sudah ribuan tahun lamanya, yaitu persoalan ketahanan pangan. Hadirin sekalian tentu pula memiliki kekayaan akal-budi di bidang pangan atau di bidang lain yang berkaitan langsung dengan pangan, yang melebihi apa yang telah saya miliki. Oleh karena itu pula, saya berdiri di sini bukan sebagai pihak yang akan mengajari Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian, tetapi mudah-mudahan melalui kesempatan ini, ilmu dan kemampuan saya akan meningkat karena kebaikan hati dan kebijaksanaan Bapak, Ibu dan Saudara-saudara sekalian.

Paradoks Kemajuan dan Kemiskinan serta Kelaparan

Apabila 55 tahun yang lalu Presiden Soekarno melalui pidatonya yang membakar semangat para civitas academica dan semua yang hadir pada kesempatan peletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian IPB, maka apabila kita bertanya kembali pada saat ini, apakah kita sudah bisa menyelesaikan urusan pangan rakyat Indonesia secara baik, marilah kita jawab sendiri dalam hati kita masing-masing.


Fakta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana urusan beras, gula, minyak goreng dan jenis pangan pokok lainnya masih menjadi berita utama dalam berbagai media massa. Hati kita tentunya meringis apabila kita menyaksikan betapa rakyat kecil masih harus berdiri berjejer dalam antrian panjang untuk mendapatkan bahan pokok seperti beras. Bahkan perasaan kita akan tersentak apabila akhirnya mereka berebutan untuk hanya sekedar mendapatkan makanan yang mereka perlukan. Sambil mengelus dada, kita sering mendengar perkataan yang membesarkan hati, tanpa maksud menerima keadaan tersebut terus terjadi. Masih untung negeri kita tidak seperti apa yang terjadi di Afrika. Akibat kelaparan manusia sudah tidak lagi menjadi makhluk yang mulia.


Kelaparan adalah kemiskinan, kemiskinan itu mendekati kekufuran. Itulah yang sering disampaikan oleh para tokoh agama ketika menyampaikan wejangannya kepada kita semua. Tetapi mengapa setelah 7000 tahun pertanian berevolusi persoalan makanan ini belum juga bisa kita selesaikan? Mengapa kita membangun pabrik-pabrik, mall atau trade center serta prasarana dan sarana modern yang sering kali tidak ada hubungannya dengan ketahanan pangan nasional atau pertanian, tetapi sementara urusan pangan tidak menarik sukma dan jiwa kita untuk menyelesaikannya? Mengapa ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen sudah demikian maju dan memberikan kehidupan yang secara duniawi mulia untuk mereka yang berada di negara-negara maju, tetapi tidak untuk kita? Kita bisa membuat daftar yang panjang untuk menunjukkan bahwa kita ini memang belum menempatkan persoalan pangan rakyat sebagai persoalan hidup-matinya bangsa dan negara kita ini.


Inilah yang saya sebutkan sebagai paradoks: kita mendahulukan yang tidak penting secara hakiki. Tetapi sebaliknya, yang sifatnya hakiki kita tempatkan diurutan yang tidak penting. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda, akan saya uraikan agak sedikit panjang mengenai apa yang saya maksud dengan pernyataan terdahulu itu.


Dalam banyak hal kita ini sering berada dalam situasi kepentingan yang saling bertentangan. Bahkan dalam kondisi tertentu kita juga sering lupa bahwa sesuatu itu penting. Karena lupa, maka hal tersebut tidak termasuk dalam daftar yang harus kita putuskan atau harus kita kerjakan. Misalnya, bagi seseorang yang memang tingkat kehidupannya sudah tergolong kaya, maka pangan bukanlah hal penting dalam gugus pengambilan keputusannya. Hal ini diperlihatkan oleh pangsa pengeluaran pangannya yang sangat rendah dari seluruh jenis pengeluarannya. Fenomena ini dikenal dengan hukum Working yang menunjukkan adanya hubungan terbalik antara tingkat pendapatan dengan pengeluaran pangan. Sebaliknya untuk rumah tangga yang masih harus bergelut dengan isi perut, hampir seluruh pendapatannya. Bahkan banyak pula di antara anggota masyarakat kita yang harus berhutang atau tidak makan karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkannya.


Persoalan yang lebih pelik lagi adalah kemiskinan para petani pangan kita, yang menggambarkan adanya situasi paradoks dari sebutannya sebagai petani. Masa iya sesorang bisa disebut sebagai petani apabila ia kekurangan pangan pada masa paceklik atau membeli beras pada saat setelah panen? Ini sungguh fenomena luar biasa yang semestinya tidak pernah terjadi. Tapi begitulah faktanya, statistik kita menunjukkan lebih dari setengahnya petani kita adalah petani gurem (kepemilihan lahan kurang dari 0,5 ha). Belum lagi kita bicara buruh tani atau keluarga yang jenis pekerjaannya tidak jelas.


Jadi, dimana letaknya kemajuan itu? Dimana adanya kemakmuran itu apabila menghadapi persoalan pangan saja kita masih harus penuh dengan perasaan khawatir. Inilah persoalan hidup atau mati bangsa dan negara kita tercinta apabila kita tidak bisa mengatasinya segera.

Pengalaman Negara Lain

Tidak ada maksud untuk mengagungkan negara lain apalagi mengecilkan kita semua. Mempelajari hasil kemajuan negara lain sangatlah penting untuk memetik buah dari akal-budi yang berkembang di sana dan menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. Bukankah Rasulullah bersabda ”belajarlah sampai ke negeri Cina”, artinya kita tidak boleh hidup seperti katak di bawah tempurung.


Negeri Cina pernah mengalami masa-masa yang sangat sulit. Lebih dari 27 juta orang meninggal dunia akibat kelaparan dalam selang waktu 1959-1963, saat mereka menjalani tahap awal Revolusi Kebudayaan. Persoalan mengapa hal tersebut terjadi juga sederhana: mengarang statistik pangan untuk mendapatkan ”Asal Bapak Senang”(2). Akhirnya, prediksi produksi pangan meningkat padahal kenyataan yang terjadi sebaliknya. Akibatnya untuk jangka waktu yang lama bangsa Cina di negaranya mengalami kesulitan pangan pokoknya.

Apa yang mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang berkecukupan pangannya sekarang? Menurut informasi yang saya terima dari salah seorang pejabat RRC penyebab utama yang membuat mereka bisa bangkit adalah kebulatan tekad para pemimpin RRC untuk bangkit di bidang pertanian ini. Artinya, pertanian di nomor-satukan, sambil sektor lainnya dibangun. Sebagai ilustrasi, Agriculture Bank of China (ABC) merupakan bank pertanian yang sangat besar yang mendukung perkembangan pertanian di negeri ini. Pada tahun 2002, dengan penerimaan US$ 10.3 milyar, ABC menyumbangkan US $ 242 juta kepada Jilin University untuk menyiapkan teknologi pertanian pada era 2020-an. Dengan perkataan lain, pihak perbankan di RRC menaruh perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikan dan riset di bidang pertanian dengan mengalokasikannya lebih dari 2.3 % dari penghasilannya. Sarana dan prasarana pertanian dan perdesaan juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Hasilnya adalah kemajuan pertanian di negeri Cina ini luar biasa dengan indikatornya yang sangat jelas: dari kelaparan ke kelimpahan pangan. Bahkan, menurut keterangan yang saya dapat dari pejabat di RRC, negeri ini memiliki stok padi yang cukup untuk tahunan lamanya apabila negeri ini mengalami paceklik panjang atau peperangan.


Kelimpahan pangan di Eropa Barat atau di Amerika Serikat pun yang menjadi simbol kemakmuran sekarang bukan berkat yang datang dari langit begitu saja. Kelimpahan pangan di belahan bumi ini hasil dari menempatkan pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah soal hidup atau mati bangsa ini. Kita mengenal sejarah kelaparan bangsa Irlandia pernah mengalami kelaparan yang menelan korban diperkirakan mencapai 2 juta jiwa. Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di Amerika Serikat, bangsa Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan. Abraham Lincoln-lah yang menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang punggung pertanian di Amerika pada saat itu. Kemudian Abraham Lincoln menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di Amerika Serikat, yaitu: Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani mendapatkan lahan per luasan 64 hektar; Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di seluruh negara bagian, dan membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenal dengan United States Department of Agriculture. Lankah besar Abraham Lincoln ini diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment Act 1933 yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya. Pandangan yang ”memuliakan” pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi untuk negara-negara maju, termasuk Jepang dan Korea Selatan.

Di belahan bumi lainnya, yaitu Afrika Selatan, yang mana negara ini baru saja melepaskan diri dari politik warna kulit (apartheid), juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang sudah ”memuliakan” pertanian. Pada tahun 2002, di Afrika Selatan terbit Undang-Undang: Land and Agricultural Development Bank Act 2002. Dalam UU ini dengan sangat jelas ditulis: (1) menimbang bahwa praktek apartheid dan hukum yang rasialis pada masa lalu telah merugikan historically disadvantage people dari lahan yang mengakibatkan mereka tersingkirkan dari sektor pertanian dan menyebabkan ketimpangan pemilikan lahan yang terjadi secara rasial di Afrika Selatan, (2) Dalam rangka mengubah pola kepemilikan lahan dengan mengembangkan/mendorong lebih besar partisipasi dalam sektor pertanian oleh historically disadvantage people dan kepemilikan lahan oleh kelompok ini melalui penyediaan jasa keuangan yang tepat. Paling tidak UU ini membangun landasan baru bagi petani miskin di Afrika Selatan mendapatkan harapan baru akan masa depan yang lebih baik. Kita mengenal kemajuan yang pesat di wilayah ini, khususnya dalam bidang pergulaan dan industri lainnya yang berbasis tebu.


Sekarang, mari kita lihat negeri tetangga kita. Thailand pertaniannya relatif lebih maju dari kita. Di Thailand, selain kemajuan dalam berbagai hal, kita juga diperlihatkan oleh keberadaan Bank Pertanian mereka yang diberi nama Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ). Karena sebagai bank pertanian, maka BAAC sangatlah dekat dengan petani. Hal yang serupa juga terjadi di Malaysia. Kita mengenal Malaysia sebagai ”Raja Sawit” dunia dengan segala kemajuannya. Vietnam juga menyalip kita di bidang kopi, sedangkan Srilanka mengalahkan kita dalam hal teh dan kelapa.

Apa kesimpulan kita setelah melihat negara-negara lain yang mencapai kemajuan yang membuat kita merasa tertinggal? Kesimpulannya adalah bahwa bangsa yang memuliakan pertaniannya akan mendapatkan berkah berupa kemajuan dan kemakmuran bagi bangsanya. Hal ini telah saya kemukakan secara panjang lebar dalam buku ”Freedom for Farmers Freedom for All"(3).


Pengalaman Kita


Lain bangsa, lain pula jalan hidup sejarahnya. Bangsa Thailand merupakan bangsa yang tidak pernah dijajah oleh bangsa lainnya. Bangsa kita, Malaysia, dan bangsa Afrika merupakan korban sejarah kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Cina, menyimpan ribuan tahun kekayaan budayanya dengan pergolakan pasang surutnya. Yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini adalah suatu hipotesa, yaitu: Suatu bangsa hanya akan bisa mengatasi masalahnya secara hakiki apabila ia mampu menemukan jalannya secara orisinal.


Kata orisinal ini penting untuk kita pegang bersama mengingat pengalaman menjiplak atau mengandalkan pihak lain membuatkannya bagi kita semua, membuat kita terbuai tanpa terasa kita itu sebetulnya dibodohi. Selain kita yang membuatnya secara kreatif, juga tentu orisinalitas itu tidak berarti kita tidak mengambil referensi dari tempat lain. Orisinalitas di sini lebih diartikan sebagai buatan kita sendiri—tidak menjiplak dan tidak pula dibuatkan orang lain. Jadi, orisinalitas akan merepresentasikan—what we can be and what we can do.

Mari kita uji hipotesa tersebut. Kita mulai dari Thailand. Bangsa ini secara orisinal membangun negerinya dengan menjadikan pertanian rakyat sebagai landasan perekonomiannya. Lihat pabrik-pabrik gula di negeri Gajah Putih ini, semua tebunya berasal dari petani. Pengusaha besar dengan semangat kebersamaan dan saling-sayang, membangun industri pengolahan, pasar dan sektor modernnya. Apa yang dikerjakan Malaysia? Malaysia juga berkonsentrasi di pertaniannya. Para petani dibantu dan mereka berkonsentrasi di bidang yang mereka kuasai: Kelapa sawit. Walaupun kelapa sawit ini berasal dari Kebun Raya Bogor, tetapi bagaimana serangan kilat Malaysia mengambil posisi kelapa sawit dunia. Sekarang, Malaysia sudah menguasai perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Vietnam memberikan contoh yang unik dalam berperang melawan penjajahnya. Orisinalitas terletak pada gagasan menjadi ”cacing tanah” untuk mengalahkan tentara-tentara asing di negerinya. Berhasil! Sekarang dengan strategi pertaniannya juga berhasil mengejar kita. Amerika Serikat, Jepang dan Eropa Barat serta negara-negara maju yang tergolong dalam organisasi OECD sudah sangat jelas memulikan pertaniannya. Sebagai gambaran, pada tahun 2001 negara-negara OECD mengalokasikan subsidi buat pertanian mencapai US $ 311 milyar.


Apakah kita sudah memuliakan pertanian? Gambaran yang menunjukkan bahwa jumlah petani gurem terus meningkat merupakan gambaran yang menunjukkan bahwa masalah sangat besar sedang berada di hadapan kita semua. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan non-pertanian, khususnya industri dan jasa tidak memberikan kesempatan bagi setiap pertambahan angkatan kerja keluar dari pertanian. Artinya, walaupun nilai pertanian berkurang dalam produk domestik bruto (PDB) nasional, bebannya tidak berkurang secara proporsional. Saya pernah menghitung dengan menggunakan data 1959-2002 mengenai hal ini, dengan hasil sebagai berikut. Ternyata bahwa setiap penurunan 1 % PDB Pertanian dalam PDB nasional Indonesia hanya dikuti oleh 0.43 % penurunan tenaga kerja pertanian. Sementara itu, untuk perubahan nilai PDB pertanian dalam PDB nasional yang sama, penurunan tenaga kerja pertanian di Korea Selatan mencapai lebih dari 1.5 %, dan di Malaysia serta Thailand masing-masing sekitar 1.2 %. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kecenderungan di Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan di negara-negara maju lainnya luas lahan pertanian per petani terus meningkat sedangkan di kita makin menyempit.


Apa yang menjadi tema besar kita dalam pembangunan pertanian? Kalau kita amati bahwa Indonesia juga sudah banyak membangun pertaniannya, tetapi pembangunannya itu terlepas dari strategi besar secara keseluruhan. Akibatnya, satu sektor dengan sektor lainnya saling tarik menarik atau saling menghilangkan. Mirip yang terjadi dengan negara-negara yang belum maju, yang sebagian besar mengisi daftar negara-negara di dunia, adalah bahwa sektor pertanian yang didominasi oleh petani kecil sering dikalahkan. Dalam bidang pertanahan misalnya, apabila di Amerika Serikat (negara kapitalis), lahir Homestead Act 1862, maka di Hindia Belanda lahir Agrarischwet 1870, yaitu undang-undang pertanahan yang melandasi perkebunan besar. Kurang-lebih 100 tahun kemudian atau tepatnya 1967 dilahirkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang memberikan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) kepada para pengusaha, dan selanjutnya pada awal 1980-an lahir kebijaksanaan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang menjadi cikal-bakal perkebunan besar swasta yang menggurita pada saat ini.


Perlu saya kemukakan bahwa saya tidak anti perusahaan besar. Yang ingin saya sampaikan bahwa kita belum berhasil menyelesaikan persoalan warisan sejarah kolonialisme, yaitu adanya sistem ekonomi dualistik yang membahayakan situasi nasional kita pada masa mendatang. Bidang produksi pangan yang sebagian besar dikerjakan oleh para petani gurem, yang dipandang kurang menguntungkan tidak mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh apabila dilihat dari kaca mata penyatuan struktur ekonomi nasional. Sektor tradisional dengan sektor modern dibiarkan berhadapan dan sudah sangat jelas terlihat akibatnya bahwa sektor tradisional akan dikalahkan. Hal inilah yang menjadi penyebab utama ”kemunduran” pertanian kita, khususnya di bidang pangan.


Revolusi Hijau yang diharapkan akan menyelesaikan persoalan pangan rakyat pada dasarnya diperlukan, tetapi belum memenuhi persyaratan yang cukup. Bahkan, Revolusi Hijau dapat dilihat sebagai sumber ketergantungan baru dari para petani kita yang sebenarnya lebih banyak memberikan keuntungan kepada para pelaku bisnis di luar petani. Segala resiko dari penerapan teknologi berbasis kimia seperti pupuk dan pestisida dibiayai petani dan ditanggung petani. Kerusakan lingkungan yang parah sebagaimana digambarkan dalam ”Silent Spring” karya Rachel Carson merupakan korbanan yang harus dipikul petani dan bumi-alam sebagai akibat dari perilaku industri kimia yang berada di balik Revolusi Hijau. Lebih parah lagi di negeri kita, Revolusi Hijau tidak membuat kehidupan petani lebih baik lagi.


Organisasi yang melandasi pembangunan pertanian, khususnya pangan (baca: beras) juga pada dasarnya adalah organisasi sebagai instrumen negara untuk mencapai tujuannya, bukan instrumen petani untuk meningkatkan kemakmurannya. Dari sudut pandang petani, peningkatan produksi bukanlah tujuan apabila pendapatannya tidak meningkat sesuai dengan perkembangan peningkatan kebutuhan mereka. Hal ini berbeda dengan faham pengembangan organisasi petani di negara-negara maju, yaitu sebagai sumber membangun energi kekuatan petani agar bisa dan kuat meningkatkan kemakmurannya.


Pendekatan pembangunan institusi semacam itu akhirnya membangun perangkap sosial yang berbahaya untuk keberlanjutan pertanian. Perangkap sosial tersebut terletak pada melembaganya tradisi berpikir bahwa kalau petani tetap miskin adalah wajar saja karena mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat mereka menjadi lebih baik derajat kehidupannya. Kemudian, dengan begitu maka berkembanglah pola ketergantungan petani kepada pihak lain yang pada dasarnya mengambil manfaat yang lebih besar dari para petani daripada jasa yang mereka berikan kepada petani. Artinya, petani belumlah menjadi subyek dari pembangunan pertanian tetapi tetap saja sebagai obyek.

Perjalanan sejarah kita, sejarah yang menihilkan status, peran, fungsi, posisi dan kontribusi petani ini telah menyebabkan apa yang sering saya gambarkan dalam perumpamaan sebagai berikut:


Petani ini ibarat sebatang kayu bakar yang sudah habis terbakar, maka yang tertinggal hanyalah abunya saja. Energinya sudah berubah menjadi panas, asap, dan berbagai gas yang kembali kepangkuan bumi-alam. Itulah akhir dari hukum entropy sebagaimana diajarkan dalam pelajaran fisika. Oleh karena itu, apabila kita melihat persoalan pertanian ini dari sudut pandang entropy, maka untuk membangun pertanian Indonesia sekaligus juga mengembangkan sistem pangan, kita harus memulainya dari awal lagi, yaitu memulai dengan menanam pohon yang baru, yang mana abu tadi kita pakai sebagai pupuk untuk menyuburkan organisme yang baru ini.


Mungkin apa yang saya gambarkan di atas terlalu mengada-ada. Tetapi, memang begitulah adanya: bagaimana mungkin kita melanjutkan perjalanan kita ke depan dengan selamat apabila kita sudah menggunakan jalan tersebut selama ini dan kita sudah mengetahui hasilnya dengan pasti: kita bakal gagal lagi. Gagal ini diartikan sebagai trend kinerja yang menurun atau trend kinerja pertanian yang tidak dapat mengatasi perkembangan kebutuhan rakyat yang bergerak lebih cepat lagi. Saya sering menyebutnya bahwa kita harus bisa dan kuat membalik arus dan gelombang sejarah agar kita bisa sampai di tujuan sebagaimana telah dinyatakan dalam cita-cita kemerdekaan NKRI.


Membalik Arus dan Gelombang Sejarah:

Memuliakan Petani-Memuliakan Semua


Sebelum saya menguraikan isi bagian ini, saya menyitir tiga pandangan tentang pertanian dari pemimpin Bangsa Barat, yang menurut persepsi kita sering kita pandang sebagai bangsa industri atau bangsa yang tidak melihat pertanian itu sebagai hal yang utama.

George Washington, Presiden Amerika Serikat-I menyatakan bahwa:
Agriculture is the most healtful, most useful and most noble employment.

Sedangkan menurut Thomas Jefferson:
No occupation is so delightful to me as the culture of the earth, no culture comparable to that of the garden.


Pandangan Benjamin Franklin lebih gamblang lagi dengan membandingkan antara pertanian, menaklukan dan berdagang. Menurut Franklin:
There seem to be but three ways for a nation to acquire wealth. The first is by war, as the Romans did, in plundering their neighbors. This is robbery. The second by commerce, which is generally cheating. The third is by agriculture, the only honest way, wherein man receives as real increase of the seed thrown into the ground, in a kind of continual miracle, wrought by the hand of God in His favor, as reward for his innocent life and his virtuous industry.

Membalik arus dan gelombang sejarah memulainya dengan menanam akal-budi bahwa petani dan masyarakat yang menjadi subyek yang kita bicarakan, bukan komoditas. Jadi, apabila pada masa lalu kita berbicara target produksi padi meningkat X juta ton, maka sekarang adalah apa, berapa banyak, kapan, dimana dan bagaimana petani mendapatkan manfaat apabila mereka dimohon untuk mengalokaskan lahan, pemikiran dan tenaganya untuk mencapai peningkatan produksi X juta ton tersebut.

Dengan perubahan cara pandang yang mengangkat para petani sebagai subyek ini akan mengubah segala hal yang selama ini terabaikan. Perubahan status dari obyek menjadi subyek membuka peluang untuk kesejajaran posisi antara petani yang menghasilkan pangan dengan para pihak yang memerlukan pangan. Jadi, kita menghargai bahwa posisi petani tidaklah lebih rendah dari posisi siapapun sehingga mereka harus duduk di lantai sedangkan pihak lain duduk di kursi tinggi. Dengan demikian, petani sebagai subyek memiliki kemerdekaan untuk mengatakan ya atau tidak sesuai dengan pandangan mereka.

Mungkinkah hal ini terjadi apabila sebagian besar dari petani itu merupakan masyarakat miskin? Sebelum menjawab mungkin atau tidak mungkin, data menunjukkan bahwa status petani yang memiliki posisi tidak lebih rendah dari status profesi lainnya sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju ternyata memberikan laju kemajuan yang melahirkan masyarakat maju di dunia. Ingat, yang pertama kali dilakukan oleh Abraham Lincoln juga memerdekakan para budak dan mengembangkan pertanian dengan mengangkat statusnya ke tempat yang sejajar dengan profesi lainnya. Jadi, selain secara moral memang status petani itu tidak lebih rendah dari status profesi lainnya, data pun mendukung bahwa dengan meningkatkan status petani ke tempat yang semestinya suatu bangsa akan bisa mewujudkan kemajuan dibanding bangsa yang menempatkan petani pada status dan posisi yang lebih rendah.

Kalau begitu, dimanakah letak persoalannya sehingga status petani dan posisi petani ini lebih rendah dari yang lainnya? Apakah mungkin pertanian akan maju dan ketahanan pangan akan meningkat apabila petaninya tetap atau bahkan bertambah miskin?

Memang kita kelihatannya jarang membahas persoalan yang sifatnya mendasar ini, atau bahkan kita juga mungkin menganggap tabu untuk membahasnya. Atau, apakah mungkin kita juga sudah lupa asal-usul kita yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan leluhur kita juga bermukim di perdesaan? Padahal, setiap perubahan memerlukan pemimpin yang memiliki tali batin dengan masyarakat yang memilihnya sebagai pemimpin mereka. Kuatnya tali batin inilah yang akan terus secara turun-temurun akan membangkitkan perjuangan untuk mengubah perjalanan sejarah pertanian ini. Siapa yang memiliki tali batin yang kuat dengan para petani dan penduduk desa?

Dalam perjalanan sejarah yang sifatnya membalik arus dan gelombang ini halangan terbesar adalah cara pandang yang membuat pertanian dengan non-pertanian atau petani dengan non-petani diposisikan secara bertentangan alias dikotomi. Padahal, keduanya itu menyatu dan komplemen, keduanya saling mendukung. Kembali lagi, hal ini dapat dilihat dalam sejarah perkembangan di negara-negara maju. Negara-negara berkembang biasanya terperangkap oleh tradisi kolonial yang terus dilanjutkan hingga sekarang, yaitu berlaku seperti asing terhadap pertanian di negaranya dan membuka pintu yang lebar bagi komoditas pertanian yang dihasilkan di negara-negara maju, sehingga kita lebih mengenal produk-produk pertanian impor daripada hasil bumi-alam sendiri.

Perubahan status petani sebagaimana diuraikan tidak akan menyelesaikan persoalan dalam satu malam. Yang paling penting dari hal ini adalah kita sudah berada pada posisi dan arah yang benar. Persoalan berikutnya adalah bagaimana petani meningkatkan kapabilitasnya—ini adalah persoalan kemampuan dan kesempatan, bukan lagi persoalan status. Kemampuan petani akan cepat meningkat apabila negara mengembangkan sistem sebagaimana yang telah diciptakan oleh Abraham Lincoln atau Franklin D. Roosevelt; atau yang dikembangkan di Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Cina dan negara-negara lainnya. Tentu saja, kita olah semuanya itu sehingga menjadi sesuatu yang orisinal hasil Indonesia yang cocok untuk Indonesia. Saya gunakan istilah Negara, bukan Pemerintah, mengingat persoalan pangan dan pertanian ini bukan sekedar persoalan pemerintah, tetapi juga persoalan yang berkaitan dengan DPR, BPK, Bank Indonesia, dan masyarakat pada umumnya: persoalan kita semua.

Memuliakan petani pada dasarnya adalah membalas budi kepada pihak yang telah memberikan syariat kehidupan bagi kita semua, sehingga kita bisa mengerjakan pekerjaan yang lain (yang kita suka mengerjakannya), dan kita mengetahuinya pula dengan pasti bahwa para petani yang menghasilkan makanan bagi kita itu, hidupnya mungkin bertambah miskin. Inilah modal spiritual kita untuk bisa membalik arus dan gelombang sejarah pertanian kita, mengembalikannya dari ”abu” menjadi ”tanaman kembali”. Hal lain hanyalah bersifat teknis saja.

Investor yang Mengubah Abu menjadi Tanaman Baru

Mengapa petani menjadi abu? Salah satu penyebabnya adalah begitu ganasnya hukum uang yang dinyatakan dalam sistem bunga berbunga—compounding interest rate, yang tidak mampu diikuti oleh ”hukum alam”, yaitu fungsi produksi di sektor riil seperti pertanian. Kita menyaksikan bahwa hukum uang itu sifatnya eksponesial, sedangkan hukum alam itu gerakannya logaritmik. Hal dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Nilai

Waktu

Gambar 1. Hubungan antara gerakan waktu dengan nilai bunga berbunga dengan nilai sektor riil.


Gambar 1 menunjukkan bahwa sektor nilai rill gerakannya cepat pada awalnya tetapi kemudian berkurang dan pada akhirnya cenderung menurun sejalan dengan waktu. Apabila bunga pinjaman modal 14 %/tahun, maka nilai pinjaman Rp 1 akan menjadi Rp 2 pada tahun ke-5. Apabila bunganya itu 30 % pertahun, maka nilai pinjaman akan menjadi dua kali dari nilai awal, misal Rp 1, sebelum tahun ke-3 tiba. Sedangkan kalau bunga 10 %, maka nilai hutang kita akan menjadi dua kalinya pada tahun ke-7 tiba. Untuk usaha pertanian, apalagi usaha pertanian yang sifatnya tanaman tahunan seperti karet, maka bunga tinggi itu akan sangat memberatkan petani. Pasar modal di negara-negara berkembang biasanya mengenakan bunga yang tinggi, maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan petani akan semakin miskin sebagaimana yang kita saksikan sekarang. Bukan hanya itu, kehidupan masyarakat perdesaan pada umumnya akan semakin sulit apabila bunga tinggi tetap dijadikan instrumen dalam pasar modal kita. Dengan model ini kita tidak mungkin bisa mengubah abu menjadi tanaman baru. Bahkan, modal pertanian akan sangat cepat terkuras dan tersedot ke kota-kota oleh kekuatan pasar uang yang luar biasa besarnya, yang meninggalkan kemiskinan dan keterbelakangan di desa-desa.


Selama ini petani sebagai investor langsung—mengalokasikan lahan, tenaga dan modalnya, termasuk kesabarannya untuk menunggu panen sekitar 4 bulan untuk padi atau sekitar 5 tahun atau lebih untuk karet. Dalam menginvestasikan modalnya petani biasanya enggan menggantungkan dirinya pada pinjaman mengingat bunganya yang tinggi, disamping petani tidak memiliki agunan serta petani sering dipandang tidak bankable. Sebenarnya, tidak bankable-nya pertanian ini bukanlah sebab, tetapi akibat dari sistem yang berjalan selama ini.

Fenomena di atas menjelaskan mengapa terjadi underinvesment dalam bidang pertanian di negara-negara berkembang.


Apa jalan keluar dari fenomena di atas? Jalan keluarnya adalah kita harus mengembangkan sistem yang mampu menggantikan sistem ”jual-beli” modal (pinjam-meminjam) menjadi sistem ”investasi bersama” dengan petani. Model ini dapat dikatakan sebagai model syariah atau model bagi hasil. Artinya, negara membangun sistem dimana petani bisa mendapatkan mitra kerja yang sejajar dengannya, yaitu mitra kerja yang berstatus dan berperilaku sebagai investor sebagaimana yang dilakukan petani. Secara khusus hal ini perlu menjadi bidang usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi pelopor sebagai mitra petani.


Dewasa ini sedang dikembangkan model dimaksud dimana BUMN Pupuk (Pupuk Kujang), benih (Sang Hyang Seri), air (Jasa Tirta), dan PT. Pertani serta perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pergudangan untuk berinvestasi bersama petani. Model sementara mencapai kesepakatan bagi hasil sebagai berikut: 40 % petani, 40 % investor, 10 % koordinator dan 10 % jasa air, semuanya diukur oleh gabah. Dalam model ini petani tidak mengeluarkan dana dalam memenuhi kebutuhan modal usahanya.


Tahapan berikutnya akan dikembangkan semacam Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang akan menjadi mitra BUMN atau BUMS. Modal yang dikumpulkan bersumber dari surplus usaha yang diinvestasikan dalam BUMP, beserta modal yang diinvestasikan oleh BUMN atau BUMS. BUMP ini dipandang sebagai wadah mengumpulkan energi seluruh masyarakat agar bisa terkumpul potensi dan kemampuan mengangkat/memutar (leverage) yang besar. Sebagai ilustrasi, apabila kita mengharapkan dapat mengolah semua hasil dari padi seperti: beras, sekam padi untuk listrik, bekatul untuk stabilized rice bran, abu sekam untuk bahan baku industri, menir menjadi tepung, dan produk lainnya, untuk areal 10.000 ha diperlukan modal sekitar Rp 450 miliar. Dengan modal ini, kita akan mendapatkan nilai penjualan lebih dari Rp 1.02 triliun dalam setahun.

Apakah mungkin kita menciptakan sistem semacam itu?


Kembali kita harus melihat dunia di sekeliling kita agar kita tidak menjadi seperti katak di bawah tempurung. Menyebut beberapa saja, di Israel kita mengenal Kibutz, di Amerika Serikat kita juga menemukan banyak perusahaan petani seperti US Crystal Sugar Company. Jadi, membangun BUMP secara prinsip adalah memungkinkan. Sekarang, hanya tinggal apakah kita bisa mewujudkan gagasan ini menjadi suatu kenyataan atau tidak.

Tanpa kita memasukkan pendapatan di luar gabah atau beras, apabila sinergi antar semua pihak dapat diwujudkan sehingga produktivitas lahan sawah meningkat 2 ton per hektar, kita akan memperoleh gambaran sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.


Tabel 1.


Hasil perhitungan menunjukkan bahwa per 10.000 hektar, apabila kita bisa memanfaatkan lima jenis produk dari padi, yaitu: beras, tepung menir, listrik dari sekam padi, stabilized rice bran, dan abu sekam maka dapat diperoleh selain nilai ekonomi sebagaimana disebutkan di atas, juga akan tercipta lapangan pekerjaan untuk 10 orang sarjana per unit BUMP dengan skala 10.000 ha serta berkembangnya kesempatan kerja bagi masyarakat luas.


Selain itu, penggunaan sekam padi untuk sumber energi perdesaan akan meningkatkan indeks pengembangan energi perdesaan yang bersumber dari bahan energi terbarukan dan tersedia secara lokal. Sebagai ilustrasi, dari setiap ton gabah tersedia sekam sekitar 220 kg yang akan menghasilkan energi sekitar 150 Kwh. Kebutuhan untuk menggiling padi menjadi beras per ton dibutuhkan energi sekitar 30-50 Kwh. Jadi, masih ada surplus energi. Dengan produksi 55 juta ton gabah, Indonesia memiliki potensi sekam untuk energi listrik sekitar 8200 Gwh. Potensi ini sangatlah strategis mengingat potensinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, khususnya bagi yang bermukim di perdesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap indeks pengembangan energi meningkat 1 %, maka indeks pengembangan sumberdaya manusia akan meningkat sekitar 1 %. Jawa Barat memiliki potensi yang besar untuk mendapatkan manfaat dari keberadaan lumbung padi di wilayah kita ini.

Gambar 2.


Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa petani sebagai INTI dari BUMP mengingat secara organisasi petani sebagai satu kesatuan memiliki nilai asset yang lebih besar, khususnya asset yang tidak dapat dinilai dengan uang. Dalam bentuk nilai stok (sawah) dan aliran barang (gabah/beras) per 10.000 ha masing-masing nilainya Rp 60 milyar (asumsi nilai sewa tanah sawah/ha Rp 6 juta/tahun) dan Rp 125 milyar (asumsi hasil gabah 5 ton/ha dan harga gabah Rp 2500/kg). Untuk bisa memanfaatkan asset ini secara optimal dan untuk mempercepat laju industrialisasi perdesaan maka BUMN perlu mengambil inisiatif sebagai lembaga pendiri BUMP ini.


Dengan kerangkan pemikiran di atas maka kita akan memiliki kekuatan untuk membangun kembali pertanian yang sekarang ini sudah menjadi abu. BUMP merupakan lembaga usaha yang perlu diciptakan untuk instrumen agar investasi dapat berkembang di perdesaan. Mengingat struktur pasar modal kurang mendukung sektor pertanian, maka diperlukan modalitas baru yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi pertanian dan perdesaan kita. Dengan BUMN mengambil inisiatif menjadi Badan Pendiri BUMP, maka akan tercipta modalitas baru untuk merancang dan mengembangkan investasi besar dalam proses industrialisasi pertanian dan perdesaan.


Lembaga Regulator


Pengertian lembaga legulator dalam tulisan ini adalah lembaga yang memiliki kekuatan yang cukup untuk membalik arus dan gelombang sejarah pangan dan pertanian kita. Kekuatan ini tidak semata-mata terletak pada kekuasaan yang bisa mengatur alokasi dan distribusi sumberdaya dengan menggunakan kekuatan fisik atau police power. Pada masa mendatang, kekuatan yang kita perlukan adalah kekuatan untuk melakukan inovasi dan proses kreativitas untuk menciptakan bukan hanya nilai tambah, tetapi kekuatan yang juga mampu mendistribusikan manfaatnya secara adil. Di sinilah letak strategis dari keberadaan dan kemampuan organisasi petani dan badan usaha yang dimiliki oleh petani dengan mitra kerjanya yang bisa bersenyawa dengan kepentingan petani.


Peran Pemerintah tetap penting. Bahkan, Pemerintah memiliki posisi, fungsi dan kekuatan yang sangat besar dalam menentukan arah pembangunan pertanian dan ketahanan pangan pada masa mendatang. Kekuatan tersebut bukan harus diwujudkan dalam regulasi yang menghambat proses investasi, melain kekuatan yang menumbuhkan iklim investasi yang subur, sehat dan kuat bagi para investor mau bekerjasama dengan petani. Pembicaraan dengan Bupati Ngawi baru-baru ini memberikan pelajaran bahwa kekuatan Pemerintah Kabupaten Ngawi terletak pada peran Bupati Ngawi dalam mengundang investor untuk masuk dan bekerjasama dengan para petaninya. Bupati Ngawi bukan hanya mempermudah proses perizinan tetapi membebaskan seluruh biaya perizinan demi tumbuhnya investasi dalam bidang pengolahan padi di kabupaten ini. Hasilnya yang segera dapat dilihat adalah bahwa investor dari Singapura sedang dalam proses membangun industri pengolahan gabah di kabupaten ini dengan kapasitas olah 930 ton gabah/hari dan nilai investasi sekitar Rp 67 miliar.


Selanjutnya, baru-baru ini juga saya berjumpa dengan beberapa orang industriawan Indonesia yang menanamkan modalnya di bidang industri pengolahan gabah di Thailand. Industriawan ini menjelaskan bahwa mereka enggan menanamkan modalnya di Indonesia mengingat ruwet dan kurang terjaminnya investasi di Indonesia. Dengan kenyataan demikian, saya pikir, kita perlu mawas diri agar investor mau bekerjasama dengan petani dan kita semua.

Pengalaman di bidang pergulaan juga menunjukkan bahwa kebijaksanaan Pemerintah yang tepat akan berdampak positif pada kinerja pertanian di Indonesia. Dengan adanya kebijaksanaan yang bisa mengintegrasikan antara impor dan produksi nasional, ternyata dalam tempo 3 tahun kita dapat meningkatkan produksi gula sekitar 600 ribu ton. Selain itu, para petani tebu telah menikmati hasil keringatnya melalui pendapatan mereka yang meningkat dan para investor juga tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang pergulaan. Dewasa ini kita sedang menyiapkan investasi sekitar Rp 9.4 triliun untuk membangkitkan kembali industri pergulaan kita.


BUMN yang bergerak di bidang agroindustri, khususnya BULOG memiliki potensi yang besar dalam usaha kita meningkatkan sistem ketahanan pangan dan sekaligus juga meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani apabila kita bisa merancang kebijaksanaan yang mampu membalik arus dan gelombang sejarah pertanian dan sistem pangan kita. Kita harus mengkaitkan secara komprehensif antara kebutuhan impor dan peran BULOG dalam meningkatkan produksi pangan nasional. Misalnya, setiap 1 ton impor beras, BULOG harus meningkatkan produksi beras minimal 2 ton. Maka, dalam jangka waktu yang tidak lama, produksi beras kita akan meningkat karena kebijaksanaan ini akan mendorong BULOG untuk kreatif dan bekerja keras secara terfokus dan bersinergis dengan BUMN lain dan dengan petani. Hubungan BULOG dengan petani harus menjadi seperti ikan dengan air.


Penutup


Revitaliasi pertanian pada dasarnya adalah usaha menghidupkan kembali pertanian kita yang sudah menjelang kematian. Konsep revitalisasi berbeda dengan konsep reformasi, transformasi atau restrukturisasi, yaitu dalam konsep revitalisasi terkandung makna adanya ruh baru. Ruh baru ini adalah kehidupan baru. Ruh baru ini yang akan membalik arus dan gelombang sejarah pertanian kita pada masa mendatang. Jadi, tepatlah kita menggunakan istilah soal hidup atau mati, apabila pembangunan pertanian dan ketahanan pangan yang kita maksud ini adalah revitalisasi pertanian.


Inti dari revitalisasi pertanian ini adalah masyarakat petani itu sendiri. Itulah intinya kehidupan pertanian. Mengingat kondisi pertanian pangan kita sudah menjadi abu, sudah menjelang ajal, atau bahkan sudah banyak yang mati, maka BUMN perlu menjadi lembaga pendiri atau penghidup kebangunan pertanian kita. Instrumen yang sangat strategis adalah badan usaha yang dimiliki petani, sebagaimana para usahawan swasta memiliki badan usaha sebagai kendaraannya untuk mencapai kemajuan dan kemakmurannya.Hal yang sama berlaku juga untuk petani. Hal inilah yang harus segera kita kerjakan. Gagasan ke arah itu sudah matang dan mantap, tinggal apakah kita mau, bisa dan kuat untuk mewujudkannya. Dengan ini ketahanan pangan kita akan meningkat dan pertanian kita akan hidup subur kembali.


Sebagai ungkapan perasaan, pada bagian akhir penutup ini saya sampaikan sebuah puisi yang saya ciptakan sendiri dan saya bacakan pada Munas pendirian Asosiasi Petani Padi Palawija di Jawa Timur, 3 September 2007 yang lalu. Mudah-mudahan bermanfaat.


Terima kasih.


Wasalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh.


Terpujilah Petani


Surabaya
, 2 September 2007: 23.45 PM


(1) Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.


(2) Lihat Amartya Sen, 1987. “Food and Freedom”, Sir John Crawford Lecture, Washington, D.C., October 29, 1987.


(3) Agus Pakpahan, 2007. Freedom for Farmers Freedom for All. Ideals, Bogor.