Kamis, 10 Maret 2005 11:46 WIB - wartaekonomi.com
Oleh: Agus Pakpahan
Pertanian tak pernah sepi dari isu ekonomi-politik--persenyawaan antara kepentingan ekonomi dan politik dan cara-cara mencapainya yang dilaksanakan dalam satu tarikan napas. Pada pra-Belanda, bangsa Portugis datang lebih dahulu dan menjajah Nusantara. Menurut sejarawan MC Ricklefs, dampak paling kekal dari penaklukan Malaka oleh Portugis adalah hancurnya jaringan (network) perdagangan di kawasan Asia.
Motivasi pertama penjelajahan dunia memang berdagang, sedangkan penjajahan adalah solusi politik. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan Belanda pada 1602 dengan motivasi ekonomi, tetapi implementasi politiknya adalah penjajahan. Keunggulan dalam kekuatan militer menjadi alat utamanya. Pada masa itu yang diburu adalah keuntungan dari pertanian, khususnya rempah-rempah dan tanaman industri.
Selama sekitar 400 tahun negara-negara temperate (beriklim sedang) membangun industri yang berbasis pada komoditas pertanian dari daerah tropis. Pada saat yang bersamaan, negara-negara tersebut membangun pertaniannya sehingga mampu menghasilkan surplus yang dapat mengisi pasar dunia. Hasilnya, industri cokelat, ban, kopi, dan lain-lain, yang mengolah hasil pertanian, berkembang pesat di negara-negara temperate. Demikian juga produksi jagung, gandum, kedelai, dan tanaman pangan lainnya yang melebihi kebutuhan domestik, semuanya kemudian mengalir mengisi pasar dunia dan menjadi sumber ekonomi-politik penting bagi negara-negara tersebut.
Sebagai ilustrasi, AS memproduksi sekitar 42,8% kedelai dunia pada 2001/2002 dengan volume 78,67 juta ton. Bandingkan dengan Indonesia pada 2001 yang hanya menghasilkan 0,82 juta ton kedelai. Kalau dibandingkan produktivitasnya, AS menghasilkan 2,66 ton kedelai per hektar, sedangkan Indonesia hanya 1,2 ton per hektar, atau cuma 45%-nya.
Jadi, negara-negara temperate bukan hanya maju dalam industri dan militer, tetapi juga pertanian. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan bahwa ketersediaan pangan dunia menjadi terjamin karena kelebihan produksi pangan di negara-negara maju. Mengapa demikian? Inti di balik itu semua adalah bahwa ekonomi-politik yang berkembang di negara-negara di daerah temperate tersebut sangat mendukung pertaniannya.
Dewasa ini berkembang pertanian berbasis bioteknologi (biotech agriculture). Di sini yang dibicarakan bukan komoditasnya, semisal kedelai, tetapi teknologi yang menciptakan karakter kedelai seperti apa yang diinginkan. Pertanian biotek ini sebagian besar merupakan output perusahaan raksasa. USDA menyebutkan bahwa sejak 1976-2000 jumlah paten biotek telah mencapai 11.073 unit. Sepuluh institusi (termasuk anak-anak perusahaannya) penerima paten terbanyak dalam bidang biotek di AS adalah Monsanto Co., Inc. (674 unit), Du Pont, E.I. De Nemours and Co. (565 unit), Pioneer Hi-Bred International, Inc. (449 unit), USDA (315 unit), Syngenta (284 unit), Novartis AG (230 unit), University of California (221 unit), BASF AG (217 unit), Dow Chemical Co. (214 unit), dan Hoechst Japan Ltd. (207 unit).
Sebagai ilustrasi mengenai kekuatan ekonomi pemegang paten tersebut adalah Pioneer dan Monsanto, masing-masing memperoleh pendapatan dari hasil penjualan benih sebesar US$2 miliar dan US$1,6 miliar pada 2002. Ini baru dari benih tanaman biotek!
Posisi perusahaan multinasional ini sangatlah besar. Bahkan dari 100 urutan institusi terkaya dunia (termasuk negara), terdapat 51 perusahaan multinasional. Jadi, banyak perusahaan multinasional yang lebih kaya daripada sebuah negara. Contohnya, pada 2002 Wal-Mart menempati peringkat ke-19 dengan pendapatan US$246.525 juta, sementara PDB Swedia US$229.772 juta.
Dalam bidang pangan, kita menyaksikan bagaimana perusahaan multinasional seperti Philip Morris, Cargill, dan Nestle masing-masing memperoleh pendapatan US$53,2 miliar, US$50 miliar, dan US$40,2 miliar. Bandingkan dengan ekspor seluruh komoditas perkebunan Indonesia yang hanya US$5 miliar per tahun.
Dewasa ini luas areal pertanian biotek dunia sudah mencapai lebih dari 80 juta hektar. Induk dari pertanian biotek ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai luas areal 80 juta hektar pertanian biotek ini tidaklah lama, yaitu hanya sekitar 10 tahun, mulai 1995. Tanaman biotek sudah menyebar ke seluruh belahan bumi. Di Asia, negara terluas pengguna tanaman biotek adalah Cina, kemudian India dan Filipina, dan Afrika Selatan sebagai satu-satunya negara pertanian biotek di Afrika dengan luas tanaman sekitar 0,5 juta hektar. Secara keseluruhan, tanaman biotek terluas diusahakan di AS (59%), Argentina (20%), Kanada (7%), dan Brasil (6%). Tanaman utama yang dikembangkan dengan teknologi biotek adalah kedelai, jagung, kapas, dan kanola.
Perkembangan situasi ini memberikan pengaruh nyata terhadap konstelasi ekonomi-politik dunia pada waktu mendatang. Pemusatan kekuatan ekonomi dunia pada perusahaan multinasional dalam bidang inti kehidupan merupakan hal yang perlu segera dicari alternatifnya untuk mengantisipasi dampak buruknya. Ini mengingat budaya perusahaan bukanlah budaya demokrasi, melainkan mencari untung sebesar-besarnya. Dominasi budaya ini akan berdampak nyata bagi kehidupan dan tingkat peradaban dunia mendatang. Sekarang saja, negara-negara berkembang sudah dirugikan oleh sistem perdagangan dunia yang tidak fair, khususnya dalam hal perdagangan komoditas pertanian.
Salah satu pelajaran utama dalam kasus pertanian biotek, dalam rangka mencari jalan keluarnya, adalah melihat perkembangan Uni Eropa yang hingga sekarang belum mengembangkan pertanian biotek secara besar-besaran. Bahkan, negara-negara Eropa mencoba melihat alternatif atau sudut pandang lain dalam hal kasus pertanian biotek ini. Di sisi lain, perlu dilihat juga Brasil, Argentina, dan negara-negara lain yang mengikuti jejak AS. Demikian pula Cina, India, Filipina, dan yang belakangan ini cukup nyata dalam mengembangkan pertanian bioteknya.
Hampir setiap perkembangan teknologi memang tak dapat dikendalikan dengan cara melarang atau membatasinya melalui penerapan hukum. Keberadaan peraturan perundang-undangan memang diperlukan, tetapi, di atas itu, diperlukan tumbuhnya nilai, etika, atau moralitas baru yang mampu membimbing agar ekses dari suatu penerapan teknologi dapat diminimalkan atau bahkan dicegah. Hal tersebut tak hanya berlaku untuk aspek lingkungan hidup, tetapi bagi segala sendi kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun mendatang. Indonesia, sebagai negara ke-4 terbesar penduduknya, perlu proaktif mencari formula tatanan ekonomi-politik pertanian biotek dunia yang bersahabat dengan keadaan atau kondisi negara-negara berkembang.
Angin perubahan besar sedang bertiup kencang ke Indonesia, ke arah negara-negara tropis-tertinggal. Perubahan besar tersebut sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada 400 tahun yang lalu. Di balik teknologi yang dikembangkan di laboratorium-laboratorium itu, tiupan angin kencang yang mengarah ke kita diatur oleh sistem ekonomi-politik yang diciptakan dunia dengan kecepatan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, booming kelapa sawit di Indonesia memerlukan waktu lebih dari 100 tahun; sedangkan booming pertanian biotek kurang dari 10 tahun. Perkembangan yang sangat cepat, mungkin lebih cepat daripada kemampuan kita berpikir!
Siapkah kita memanfaatkan secara positif perubahan besar tersebut, ataukah hanya akan kembali menjadi korban perubahan besar?
Penulis adalah ketua Badan Eksektutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) dan penulis buku Petani Menggugat (2004).